Tafsir Al-Isra 15: Ramadlan, Jangan Beribadah Minimalis

Tafsir Al-Isra 15: Ramadlan, Jangan Beribadah Minimalis Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .  

Mani ihtadaa fa-innamaa yahtadii linafsihi waman dhalla fa-innamaa yadhillu ‘alayhaa walaa taziru waaziratun wizra ukhraa wamaa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa nab’atsa rasuulaan (15).

Dari terjemahan ayat di atas terbaca arahan seperti berikut: Pertama, "Mani ihtadaa fa-innamaa yahtadii linafsihi". Hidayah itu harus diupayakan (ihtada). Barang siapa bisa memetik hidayah, pandangan baik sesuai syari'ah agama, lalu mengamalkannya, maka dia akan mendapat kebajikan, pahala, imbalan yang bermanfaat bagi diri sendiri. Tapi siapa yang sesat dan menyimpang dari agama, maka keburukannya akan menimpa diri sendiri. 

Kata "ihtada" yang berwazan "ifta'ala" pada ayat di atas menunjukkan, bahwa manusia tidak boleh pasif dan hanya menunggu datangnya hidayah. Kita wajib berikhtiar mendapatkan bimbingan Tuhan secara terus menerus. Soal hasil, itu mutlak kewenangan Tuhan.

Ada orang yang dekat dengan sumber hidayah, tapi dia tidak doyan hidayah, apalagi berminat mendapatkan, maka Tuhan tidak memberinya. Contohnya Abu Lahab, paman Nabi Muhammad SAW, hingga mati masih tetap dalam kekafiran. Ada yang sangat jauh dari sumber hidayah, tapi serius memburu dan ingin banget mendapatkannya, lalu Tuhan memberinya. 

Contohnya Salman al-Farisy, orang Persia yang seja kecil beragama Majusi, penyembah api, bahkan penjaga tungku perapian untuk sesembahan. Kemudian sadar dan ingin mencari kebenaran, lalu mengembara. Akhirnya, menjadi sahabat kesayangan nabi setelah upaya panjang dan melelahkan.
Bulan Ramadlan, semua umat Islam memandang sebagai bulan suci yang penuh rahmat, pengampunan dan keberkahan. Lazimnya diibaratkan tamu agung yang mesti dihormati. Oke, sepakat. Kita berlomba memetik kebajikan, hidayah, pengampunan di bulan suci ini. 

Jika benar pandangan kita terhadap Ramadlan sebagai tamu, maka sebagai tuan rumah, lazimnya kita mesti berbuat seperti ini:

Pertama, yakin, bahwa tamu itu membawa rezeki. Menghormati tamu dengan keikhlasan penuh sama dengan membuka kans besar nan lebar untuk gerojoknya kucuran rezeki. Ada rezeki nyata enak seperti mendapat uang lebih banyak dan mudah, dan ada rezeki yang tidak nampak tapi sangat diperlukan. Ikuti kisah ini:

Tersebutlah seorang sahabat mulia dan banyak teman berkunjung ke rumah, siang dan malam. Tapi istrinya super cerewet dan tidak suka kepada para tamu, karena ribet, mengganggu dan lain-lain. Sampai akhirnya, sang sahabat tersebut sowan ke Nabi mengadukan ulah sang istri. Nabi menasihati: gini saja, ketika teman kamu nanti ada kunjung ke rumah, hormati dia sebaik mungkin. Lalu, ketika pamit pulang, ajaklah istrimu mengantarkannya keluar, sekali ini saja. Jangan lupa, ajak dia. 

Semua dipatuhi sesuai perintah dan sang istri patuh. Subhanallah, saat sang istri mendampingi suami melepas kepulangan si tamu, dia tertegun dan hampir jatuh pingsan. Ada apa sayang? Sang istri cerewet tiba-tiba beruba menjadi santun dan lembut. "Aku melihat binatang-binatang berbahaya, ada kalajengking, kelabang, ular, dan lain-lain pada keluar dari rumah mengikuti langkah sang tamu dari belakang".

Sejak itu, si istri pemarah berubah menjadi peramah. Artinya, sambi kolo lan moroboyo, penyakit dan kesialan tersedot oleh kerahmatan sang tamu. Artinya, andai ada takdir buruk, andai ada dosa-dosa kecil mengganggu dan mengambat ibadah, maka semua itu bisa sirna karena ketulusan menjamu tamu. Puasalah secara tulus, atas dasar keimanan (imana) dan murni hanya karena Allah semata (ihtisaba), kalian akan lebih sehat dan terampuni.

Kedua, muslim yang baik pasti mengutamakan tamunya, ketimbang diri sendiri dan keluarga. Seorang sahabat miskin tak punya makanan malam itu, kecuali hanya cukup untuk satu orang. Tapi dia siap menjamu tamu yang direkomendasi Rasulullah SAW.

Setibanya di rumah, sempat adu mulut dengan istri karena memang benar-benar tak ada makanan, kecuali hanya itu. Iki piye and piye iki..?. Lalu, keduanya rela dan sepakat membuat trik cantik.
Lampu di ruang makan sengaja dimatikan dengan alasan tertentu, gelap dan gelap. Satu piring berisi makanan disuguhkan ke tamu, sementara tuan rumah menghadap piring kosong, sembari mempersilakan dan pura-pura makan. Usai jamuan, piring-piring dimasukkan ke dalam dan lampu baru dinyalakan. 

Paginya, usai jamaah subuh, nabi tersenyum dan berpidato mengomentari apa yang dilakukan sahabat mulia semalam. Allah SWT kagum dan sangat senang, Nabi-Nya juga kagum dan mendoakan keberkahan. Sabahat itu, akhirnya berkecukupan rezeki dan keluarganya berbarakah. Mau rezeki tambah barakah, sedekahlah sebanyak mungkin, seikhlas mungkin di bulan Ramadhan.

Ketiga, dapat memetik hidayah di bulan ramadlan adalah idaman bagi setiap orang beriman. Jika tidak, wah.. mohon koreksi diri. Ada apa dengan diri kita. Ibarat orang sakit, meskipun dia lama lapar, tapi dia tidak ingin menikmati makanan kesukaan. Maka, beristighfarlah.

Sumber: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO