Harlah ke-27: Politik adalah Amanah, PKB Pusakanya

Harlah ke-27: Politik adalah Amanah, PKB Pusakanya Aguk Irawan MN. Foto: ist

Oleh: Aguk Irawan MN

Hari ini 23 Juli 2025 adalah hari lahir Partai Kebangkitan Bangsa (Harlah PKB) yang ke-27. Ia adalah momen reflektif bagi seluruh bangsa, terutama warga Nahdliyyin, untuk menegaskan kembali posisi politik dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan.

PKB hadir bukan tanpa sejarah, bukan pula tanpa pijakan ideologis yang kokoh. Ia lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dengan satu misi penting: menjaga agar warisan ulama tentang politik sebagai wasilah (sarana) tetap hidup, relevan, dan membumi dalam konteks Indonesia modern.

Dalam kerangka Fiqhus Siyasah, politik dipandang sebagai fardhu kifayah—kewajiban kolektif umat Islam untuk mengelola kehidupan bernegara dan menjaga kemaslahatan bersama. Jika tidak ada satu pun yang menjalankannya, dosa kolektif akan menimpa seluruh umat.

Syekh Muhammad al-Amin al-Syanqithi mengingatkan bahwa qadha’ (sistem hukum dan perundangan) adalah pilar penting dalam mencegah kekacauan sosial. Negara tanpa hukum yang kokoh akan menjadi lahan subur bagi kezaliman dan anarki.

Dalam konteks modern, kewajiban itu mewujud dalam partisipasi aktif untuk memastikan negara berjalan sesuai prinsip maqashid syariah—memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Konsep trias politica yang membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah salah satu bentuk mekanisme untuk menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak absolut. Di sinilah peran ulama dan politisi harus bersinergi.

Imam al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk mengibaratkan agama dan politik sebagai saudara kembar: agama membimbing politik, dan politik menjaga tegaknya agama di ranah publik. Jika ulama rusak, maka penguasa akan binasa, dan jika penguasa zalim, rakyat pun akan menderita.

Politik tidak semata kekuasaan dan kutukan, melainkan amanah yang jika dijalankan dengan integritas dapat membawa kemakmuran, tetapi jika disalahgunakan justru menjadi sumber kehancuran.

*PKB Wasilah bagi Aqidah Aswaja*

Dalam perspektif Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), politik tidak diposisikan sebagai tujuan utama sebagaimana dalam Syi’ah, yang menganggap politik sebagai bagian integral dari iman, atau Khawarij, yang menempatkan kepemimpinan sebagai ushul atau prioritas mutlak. Aswaja mengambil jalan tengah yang moderat.

Politik dalam Aswaja dipandang sebagai wasilah, sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umat, dan stabilitas negara. Selama pemimpin berlaku adil dan berpihak kepada rakyat, sistem negara—apakah monarki atau demokrasi—boleh dipilih.

Aswaja menolak pemberontakan (bughat) karena memandang stabilitas politik sebagai kunci agar masyarakat dapat menjalankan agama dengan tenang. Politik ditempatkan sebagai alat efektif untuk memastikan terwujudnya maqashid syariah dalam kehidupan bernegara.

Dengan pandangan Aswaja yang moderat ini, keterlibatan Nahdliyyin dalam politik bukanlah penyimpangan, melainkan pengamalan langsung dari ajaran Aswaja.

Sejak era klasik, para ulama tidak memisahkan urusan agama dan politik. Kitab Ahkam al-Sulthaniah karya Al-Mawardi dan al-Tibr al-Masbuk karya al-Ghazali menjadi bukti nyata bahwa politik adalah bagian dari syariat.

Di Nusantara, para ulama seperti Hamzah Fansuri dan Sultan Iskandar Muda juga menulis karya-karya yang memadukan nilai keislaman dan tata kelola kekuasaan seperti Tajus Salatin dan Sêrat Suryangalam. Semua ini adalah turots (warisan) yang menegaskan bahwa mengabaikan politik berarti mengkhianati amanah ulama terdahulu.

Dalam konteks Indonesia, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk melawan penjajah. Pasca kemerdekaan, NU mendirikan Partai NU sebagai wadah perjuangan politik yang berhasil menduduki peringkat ketiga pada Pemilu 1955.

Namun, perjalanan politik NU penuh dinamika. Era Orde Baru memaksa NU melebur dalam PPP, tetapi karena minimnya peran, para kiai menarik NU dari politik praktis pada 1984 dan kembali ke khittah. Baru pada 1998, melalui kesepakatan para Kiai di PBNU yang dikomandani Gus Dur, PKB lahir sebagai wadah politik yang sah dari Nahdliyyin untuk Indonesia.

*Mengapa Nahdliyin Harus PKB?*

Pertanyaan ini sering muncul setiap kali Harlah PKB diperingati. Bagi Nahdliyyin, PKB adalah amanah sejarah. Ia bukan sekadar partai politik, tetapi pusaka para kiai untuk memastikan bahwa NU tetap netral sebagai organisasi sosial-keagamaan, sementara perjuangan politik disalurkan melalui PKB.

Berpolitik melalui PKB menjadi fardhu kifayah karena merupakan jalan legal-formal dalam menerapkan ajaran Aswaja dan Fiqhus Siyasi. Mungkin tidak ada partai lain yang merepresentasikan gagasan-gagasan turots para ulama sebagaimana PKB.

Sejak awal berdiri, PKB berkomitmen memperjuangkan nilai keislaman moderat, kebangsaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat. Bagi warga Nahdliyyin, PKB adalah saluran politik yang sahih dan otentik untuk menerjemahkan visi besar _rahmatan lil ‘alamin_ ke dalam kebijakan publik.

Meski demikian, perjalanan PKB tidak selalu mulus. Konflik internal, godaan pragmatisme politik, hingga tantangan globalisasi menjadi ujian yang harus dihadapi. Di usia ke-27 ini, PKB harus meneguhkan kembali idealisme perjuangannya. Politik tidak boleh diperlakukan sebagai alat meraih kekuasaan semata, tetapi sebagai medan jihad untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan umum.

PKB juga harus memperluas kiprah dalam membela rakyat kecil, petani, nelayan, dan santri yang seringkali termarjinalkan dalam kebijakan negara. Partai ini tidak boleh kehilangan jati diri sebagai partai yang berakar kuat pada pesantren, yang menjadi benteng moral bangsa.

Harlah PKB ke-27 adalah momentum bagi kita semua untuk merenungkan kembali makna politik dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Politik adalah amanah yang hanya bisa dijaga jika dikelola oleh orang-orang berintegritas dan berlandaskan nilai agama. PKB hadir sebagai pengejawantahan dari ajaran Aswaja dan warisan para kiai, sebagai wasilah untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan sosial, dan nilai kemanusiaan universal.

Bagi Nahdliyyin, PKB bukanlah pilihan politik biasa. Ia adalah saluran perjuangan yang sahih untuk mewujudkan cita-cita besar para pendiri bangsa: Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur—negeri yang baik dan diberkahi Tuhan. 

Selamat Harlah ke-27 PKB. Semoga tetap menjadi partai yang membela rakyat, menjaga marwah pesantren, dan menjadi jembatan antara agama dan politik demi kemaslahatan bangsa.[]

Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta.