Ketika PSI Jadi Partai Keluarga, 5 Alasan Tak Bakal Besar

Ketika PSI Jadi Partai Keluarga, 5 Alasan Tak Bakal Besar Kaesang Pangarep. Foto: YouTube

SOLO, BANGSAONLINE.com-Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) usai. Seperti sudah bisa diduga, Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, terpilih kembali sebagai ketua umum. Salah satu agenda utama Kongres PSI kali ini adalah pergantian logo.

Semula PSI berlogo bunga mawar plus tangan mengepal. Kini logo PSI diganti gambar gajah. Nah, logo gajah itulah yang dipamerkan lewat jaket yang dikenakan Jokowi, ayah Kaesang Pangarep, yang juga mantan Presiden RI.

Andi Budiman, mantan Plt Ketua Umum PSI, mengungkap kenapa PSI memakai logo gajah. Menurut dia, gajah adalah makhluk bijaksana, cerdas dan tak pernah lupa.

Yang menarik, warna kepala gajah itu merah. Sedang tubuhnya berwarna hitam. Mirip warna khas PDIP. Partai yang dulu menjadi kendaraan politik Jokowi. Namun kini menjadi partai yang berseteru berat dengan Jokowi. Terutama Ketua umumnya. Megawati Soekarnoputri.

Dulu para pengurus PSI beralasan bahwa PSI memakai logo bunga mawar karena terinspirasi ucapan Bung Karno. Yang tak lain ayahanda Megawati Soekarnoputri.

Pada 1959 Bung Karno memang mengatakan, “Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya. Dengan sendirinya, harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya”. Itulah yang saat itu menjadi salah satu alasan PSI memakai lambang bunga mawar.

Ternyata bunga mawar itu tak membuat PSI semerbak. Buktinya, pada pemilu 2024 PSI tak lolos ke Senayan. Yang pasti, bunga mawar dan tangan mengepal itu dalam dunia internasional adalah lambang kelompok sosialis.

Apakah dengan logo baru PSI akan besar seperti gajah? Tampaknya sulit. Bahkan makin sulit.

Kenapa? Pertama, figur utama PSI adalah Jokowi. Secara faktawi sekarang reputasi Jokowi semakin redup. Alih-alih Jokowi bisa membesarkan PSI. Untuk menyelamatkan diri dari guncangan stigma ijazah palsu saja susahnya bukan main.

Apalagi PSI kini cenderung jadi partai keluarga. Bahkan kongresnya pun ditaruh di Solo, dekat kediaman Jokowi. Jadi atmosfir PSI makin sempit.

Kedua, momentum Jokowi sudah lewat. Jokowi punya peluang besar membesarkan PSI ketika ia menjabat sebagai presiden. Saat itu Jokowi punya segala-galanya. Mulai kekuasaan, kharisma, jaringan, dana dan aparat untuk menekan secara politik.

Kini aura Jokowi sudah habis. Lihat saja fenomena di media sosial. Tiap hari sosok Jokowi dijadikan meme lucu yang sangat memprihatinkan. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia mantan presiden Indonesia direndahkan dan diolok-olok rakyatnya sendiri seperti Jokowi.

Bung Karno pernah menjadi pesakitan politik Orde Baru. Tapi yang melakukan marginalisasi politik hanya sebatas elit-elit politik Orba, terutama Soeharto dan kroni-kroninya. Mayoritas rakyat Indonesia tetap menghormati dan menghargai Soekarno. Bahkan meski pada Orba sangat represif dengan cara menyensor dan membatasi karya-karya Bung Karno tapi pemikiran-pemikiran presiden RI pertama itu masih terus diburu dan menjadi konsumsi publik.

Jokowi sebaliknya. Meski Presiden Prabawo Subianto meneriakkan “hidup Jokowi” tapi rakyat tak peduli. Mereka terus menghujat Jokowi dan keluarganya. Bahkan banyak tokoh dan rakyat Indonesia justru menyayangkan sikap politik Prabowo. Mereka mempertanyakan, untuk apa Prabwo maih membela Jokowi. Toh hutang budi politik Prabowo sudah terbayar dengan naiknya Gibran Rakabuming Rakam, putra sulung Jokowi, sebagai wapres. Menurut mereka, Gibran sangat membenbani Prabowo dan bangsa Indonesia.

Ketiga, PSI semakin mengerucut menjadi partai keluaga. Yaitu keluarga Jokowi. Persepsi ini muncul sangat kuat dan meluas di mata publik. Terutama ketika Jokowi secara serius dan bersemangat mengatakan akan membela dan bekerja keras untuk PSI yang ketua umumnya adalah anak kandungnya sendiri. Otomatis PSI dikuasai ayah dan bapak.

Pasti ada yang bertanya. Apa bedanya dengan Partai Demokrat dan PDIP yang juga dipimpin oleh keluarga? Dipimpin bapak (SBY) dan anak (AHY)? Atau ibu (Megawati) dan anak (Puan dan keluarga lainnya)? Atau PKB yang dipimpin oleh adik (Cak Imin) dan kakak (Halim Iskandar)? Bukankah PDIP, Demokrat an PKB juga dipimpin secara dinasti politik?

Memang tak ada bedanya. Hanya saja ketika Megawati awal memimpin PDIP dan SBY mendirikan Demokrat saat itu belum dibayang-bayangi oleh keluarga secara dominan.

Begitu juga PKB. Saat Gus Dur dan kiai-kiai NU mendirikan PKB tidak ada bayang keluarga dominan. Sehingga baik PDIP maupun Demokrat dan PKB memperoleh simpati publik, meski kemudian banyak yang kecewa.

Sebaliknya, PSI masih dalam posisi partai gurem faktor keluarga atau dinasti politik Jokowi sudah dominan. Otomatis sulit mendapat kepercayaan rakyat.

Keempat, PSI salah kelola dan intoleran. Stigma ini kuat sekali. Ini tentu fenomena menarik. Bahkan beberapa manuver politik PSI sangat pragmatis dan konservatif. Padahal PSI mencitrakan diri sebagai partai anak muda.

Sehingga muncul stigma bahwa PSI partai anak muda yang cara berpikirnya tua dan konservatif bahkan intoleran. Stigma ini muncul ketika Tsamara Amany keluar dari jajaran pengurus DPP PSI. Wanita berwajah Arab itu dihujat oleh pendukung PSI secara kasar dan norak. Ia dicap kadrun, antek Yaman, dan dikaitkan dengan urusan seks karena suaminya keturunan Arab.

Saat peristiwa itu tejadi Jokowi masih gagah perkasa. Buzzer masih melimpah. Sehingga siapapun yang berhadapan dengan PSI atau Jokowi akan dihajar secara massif oleh buzzer yang siap menyerang.

Tapi apalah arti buzzer. Seratus juta buzzer pun tak akan pernah bermetamorfosis menjadi kekuatan elektoral. Buzzer hanya periuh sesaat yang tak mewakili kekuatan riil suara rakyat. Buzzer identik dengan gerakan tanpa otak karena semata memburu cuan recehan. Apalagi satu orang bisa memiliki 25 akun. bahkan banyak buzzer yang sejatinya mesin.

Praktis hanya penguasa bodoh yang terus memelihara buzzer. Faktanya, kini Jokowi justru menjadi bulan-bulanan netizen.

Peristiwa ini semakin menunjukkn bahwa PSI salah Kelola sekaligus intoleran.

Kelima, sektarian. Isu Jokowisme menjadi taqline PSI. Ini pernah dilontarkan Grace Natalie Louisa, Wakil Ketua Pembina PSI. Bahkan Grace bertekad akan terus mengusung Jokowisme.

Ini tentu naif. PSI yang mengklaim sebagai partai anak muda justru berusaha untuk mempersonalisasi institusi. Padahal kita semua tahu bahwa rekayasa politik untuk mempersonalisasi instuti tak akan pernah membesarkan partai politik. Sebaliknya justru akan menghambat gerak partai karena memicu sikap sectarian yang sempit.

Apalagi figur Jokowi sekarang sudah babak belur di mata rakyat.

Wallahua’lam bisshawab.