
Oleh: Aguk Irawan MN
Dalam sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, pesantren telah menjadi institusi pendidikan yang sangat penting. Berbeda dengan sistem pendidikan formal lainnya, pesantren menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan spiritual dalam proses pembelajaran. Namun, di balik keunikan dan kelebihan pesantren, terdapat dinamika kultural yang kompleks yang perlu dianalisis lebih lanjut.
Dalam konteks ini, kita dapat membandingkan sistem pesantren dengan sistem kekuasaan lainnya, seperti feodalisme dan fasisme. Feodalisme, sebagai sistem kekuasaan yang berbasis pada hierarki sosial dan ekonomi, memiliki kesamaan dengan sistem pesantren dalam hal struktur kekuasaan yang hierarkis. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya.
Dalam sistem pesantren, kekuasaan Kiai atau Ustadz tidak hanya berbasis pada otoritas keagamaan, tetapi juga pada kemampuan spiritual dan intelektual. Kiai atau ustadz diharapkan dapat menjadi teladan bagi santri dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda dengan feodalisme, di mana kekuasaan berbasis pada status sosial dan ekonomi.
Sementara itu, fasisme sebagai sistem kekuasaan yang otoriter dan totaliter memiliki kesamaan dengan sistem pesantren dalam hal penekanan pada disiplin dan ketaatan. Namun, tujuan dan motivasi di balik keduanya sangat berbeda. Fasisme bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas masyarakat, sedangkan pesantren bertujuan untuk membentuk karakter dan moral santri.
Menurut antropolog Clifford Geertz, "Pesantren adalah institusi pendidikan yang unik, di mana santri tidak hanya belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga dibentuk karakternya melalui proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Islam" (Geertz, 1960). Hal ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan moral santri.
Dalam konteks kontemporer, pesantren masih memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat Indonesia. Namun, tantangan yang dihadapi oleh pesantren saat ini sangat kompleks, mulai dari perubahan sosial dan ekonomi hingga globalisasi dan modernisasi. Oleh karena itu, pesantren perlu melakukan reformasi dan adaptasi untuk tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam kata-kata Nurcholish Madjid, "Pesantren harus menjadi institusi pendidikan yang inovatif dan kreatif, yang mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat" (Madjid, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa pesantren mungkin masih dan terus perlu melakukan perubahan dan inovasi untuk tetap relevan dan efektif dalam membentuk karakter dan moral santri.
Dari uraian di atas, setidaknya ada tujuh aspek perbedaan secara signifikan antara sistem pesantren dengan feodalisme-fasisme.
Pertama, perbedaan pada dasar relasi. Sistem pesantren dilandasi oleh nilai agama, adab dan spiritual, sementara dalam feodalisme dan fasisme dilandasi kekuasaan semata dan status ekonomi kapital.
Kedua, perbedaan ada pada posisi dan status sosial. Kiai/ustadz dihormati karena ilmu dan keteladannya, sementara dalam praktek feodalisme dan fasisme, tuan dihormati karena kekayaan dan keturunan bangsawannya.
Ketiga, perbedaan ada pada cara kerja ketaatannya. Kiai ditaati karena keikhlasan, keberkahan dan maunah-karomah (spiritual)-nya, sementara dalam feodalisme dan fasisme tuan ditaati karena ketakutan dan keterpaksaan.
Keempat, perbedaan dalam kegiatan sosialnya. Pada sistem pesantren ada tradisi roan atau gotong-royong yang dilakukan dengan kesadaran suka-rela, tabaruk dan ada unsur ta'lim (edukasi), sementara dalam feodalime dan fasisme gotong-royong dilakukan hanya untuk kepentingan penguasa.
Kelima, perbedaan pada mobilitas sosialnya. Dalam sistem pesantren, santri biasa (bukan Gus/Ningrat) kelak bisa menjadi Kiai, bahkan sangat dihormati karena prestasinya, sementara dalam feodaliame dan fasisme ditentukan status-quo kebangsawanan.
Keenam, perbedaan pada perlakuan kapasitas intelektualnya. Dalam pesantren, perbedaan pendapat bisa diterima dan biasa dibahas di forum ilmiah (bahsul masail) dengan basis akademis, sementara dalam sistem feodal dan fasisme keputusan hanya dari penguasa. Tidak boleh ada perbedaan pendapat.
Ketujuh, perbedaan mencolok ada pada tujuannya. Dalam pesantren santri mencari ilmu, panutan, keberkahan dan puncaknya ridloh Allah, sementara dalam sistem feodalisme dan faisme, tuan dan sistemnya semata-mata hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan hirarki sosialnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem pesantren memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri dibandingkan dengan sistem kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, relefansinya dengan masyarakat masih dibutuhkan dan perlu juga dilakukan upaya untuk mempertahankan dan mensinergikan dengan kebutuhan zaman supaya bisa lebih diterima, serta terus mempromosikan nilai-nilai moral yang berbasia islam yang moderat dan rahmatan lilalamin. Wallahu'alam bishawab.