
Oleh: Aguk Irawan
YOGYAKAR, BANGSAONLINE.com - Ketika kamera Xpose Trans7 menyorot tradisi "ngesot", "amplop", "mematung", dan "berkah" di pesantren tradisional, saya tidak bisa tidak merasa bahwa ada sesuatu yang ganjil dalam tayangan tersebut. Bukan hanya tentang bagaimana tradisi-tradisi tersebut ditampilkan, tapi juga tentang bagaimana kita memahami dan merepresentasikan budaya lain, dalam hal ini pesantren sebagai subkultur.
Dalam buku "The Interpretation of Cultures" karya Clifford Geertz, disebutkan bahwa budaya adalah sistem simbol yang kompleks yang membentuk makna dan perilaku manusia. (Geertz, 1973). Dalam konteks pesantren, tradisi-tradisi tersebut bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan memiliki makna simbolik dan fungsi yang spesifik dalam komunitas.
"Ngesot", "amplop", dan "mematung" tidak hanya memiliki makna spiritual atau simbolis yang tidak dapat dipahami tanpa konteks yang tepat, tetapi bagian dari etika panjang perjalanan bangsa besar ini. Hal tersebut bisa ditelisik dari akar sejarah panjang pendidikan lokal bangsa ini, mulai sistem ashrama ghuru-bakti, padepokan, sampai dukuh puntren.
Selain itu juga naskah-naskah tua, mulai Aguron-Guron karya Empu Prapanca, sampai Serat Dewa Ruci karya Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam naskah tersebut dikisahkan bagaimana seorang santri bernama Werkudara diperintah Guru Durna untuk mengalahkan raksasa Rukmakala yang bersamayam di sebuah bukit.
Perintah berikutnya seorang santri harus melanjutkan petualangannya sampai ke samudara untuk bertemu naga, dan seorang santri tidak ada pilihan kecuali menjalankan titah seorang guru (kiai) meski dengan resiko berat. "Najan ing guwaning mangwon" (Meski harus masuk ke mulut harimau). Karena disana ada konsep uwakadarma (bakti suci) atau tabaruk dalam menunut ilmu, yaitu seorang santri tidak cukup mendatangi (belajar) ilmu, tapi juga harus menunggu momen ilmu mendatanginya. Inilah uwakadarma atau ilmu laduni dalam perspektif tasawuf.
Namun, tayangan Xpose tersebut seolah-olah menggambarkan tradisi-tradisi tersebut sebagai sesuatu yang aneh dan tidak biasa. Ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang antropologi kebudayaan dan keberagaman budaya di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh James Clifford dalam buku "The Predicament of Culture", "Budaya adalah proses yang terus-menerus dinegosiasikan dan direvisi." (Clifford, 1988)
Dalam perspektif Islam, tradisi-tradisi tersebut juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Dalam buku "Science and Civilization in Islam" karya Sayyid Hossein Nasr, disebutkan bahwa "iman, prilaku dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan". (Nasr, 2003) Tradisi-tradisi tersebut merupakan bagian dari upaya spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sekali lagi, tayangan Xpose tersebut tidak memperhatikan aspek spiritualitas tersebut. Malahan, tradisi-tradisi tersebut ditampilkan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak relevan dengan kehidupan modern. Karena itu mereka menganggap wajar untuk mengolok-olok. Dengan demikian mereka menunjukkan kurangnya pemahaman tentang sub kultur pesantren dan doktrin ta'lim Islam yang menekankan pentingnya spiritualitas dan kesadaran akan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam buku "Fiqh Sunnah" karya Sayyid Sabiq, disebutkan bahwa "sunnah adalah jalan yang lurus yang membawa manusia kepada Allah". (Sabiq, 2004). Menurut Sabiq tradisi-tradisi (urf) adalah bagian dari "sunnah" yang harus dipahami dan dijalankan dengan benar, selagi tidak bertentangan dengany tauhid.
Oleh karena itu, penting bagi media untuk memahami konteks budaya dan antropologi kebudayaan sebelum menampilkan tradisi-tradisi yang unik dan berbeda. Dengan demikian, kita dapat mempromosikan pemahaman dan toleransi yang lebih baik terhadap keberagaman budaya di Indonesia.
Dalam mengkritisi tayangan Xpose tersebut, saya tidak bermaksud untuk membela secara apriori pada tradisi-tradisi yang mungkin dianggap kuno atau tidak relevan. Namun, saya ingin menekankan pentingnya memahami konteks budaya dan antropologi kebudayaan sebelum menampilkan tradisi-tradisi yang unik dan berbeda.
Dengan demikian, kita dapat mempromosikan pemahaman dan toleransi yang lebih baik terhadap keberagaman budaya di Indonesia. Kita harus belajar untuk memahami dan menghargai perbedaan, bukan mempertebal stereotip dan prasangka.
Dalam buku "Ta'lim al-Muta'allim" karya Azzarnuji, disebutkan: "Ketahuilah, bahwa seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan memperoleh manfaat darinya kecuali dengan menghormati ilmu dan orang-orang yang menuntut ilmu, serta menghormati gurunya yanh memberinya ilmu." Jadi tradisi-tradisi tersebut merupakan bagian dari upaya menghormati guru dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, mari kita memahami dan menghargai tradisi-tradisi tersebut dengan konteks budaya dan antropologi kebudayaan yang tepat. Kita harus belajar untuk memahami dan menghargai perbedaan, bukan mempertebal stereotip dan prasangka. (Aguk Irawan)