
Oleh Aguk Irawan MN.
Ketua PBNU Gus Ulil Absar Abdalla kembali memantik dialog, setelah menyebut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai “wahabi lingkungan.” Bagaimana terminologi ini bisa dipahami? Mengapa harus diwacanakan? Dan apa dampaknya? Jawabannya tidak sederhana.
Term “wahabi lingkungan” mengandung dua kemungkinan. Pertama, apabila yang dimaksud oleh Gus Ulil sebagai aktivisme ekstrim, menolak pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pembangunan, hal ini mungkin bisa dibenarkan.
Sebab, secara ontologis, dalam filsafat Islam, alam lingkungan ini adalah anugerah Tuhan. Ditundukkan kepada manusia untuk dikelola dan dimakmurkan. Proses manusia mengelola sumber daya alam telah berusia ribuan tahun dalam lintasan sejarah.
Babilonia membangun kota gantung dan Mesir membangun piramida. Peradaban membutuhkan penggunaan SDA, seperti batu-batu gunung. Setelah mengenal teknologi tambang, sejarah mencatat bagaimana manusia mengekstrak biji besi untuk peralatan perang, untuk bangunan rumah maupun kepentingan sehari-hari.
Jika Wahabi Lingkungan berarti mereka yang secara apriori menolak penggunaan SDA atas nama apapun, pemikiran Gus Ulil bernilai positif. Sebab, manusia diberi tugas sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, untuk memanfaatkan SDA dengan baik dan membangun peradaban.
Namun sebaliknya, dan ini kedua, apabila maksud Wahabi Lingkungan tersebut adalah pembenaran filosofis terhadap tindakan eksploitasi SDA dan deforestasi yang menyebabkan benca alam, seperti banjir dan tanah longsor, maka terma wahabi lingkungan perlu dievaluasi kritis. Sebab semua kitab suci sudah jelas melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi.
Dengan begitu, menolak sama sekali pemanfaatan SDA dan mendukung sepenuhnya eksploitasi merupakan cara-cara berpikir yang ekstrim dan tidak bisa dibenarkan. Dua kutub ekstrimisme ini secara ontologis tidak relevan dengan tugas dan fungsi manusia.
Di sini, al-Qur’an sering kali melarang ekstrimisme apapun dengan menggunakan kata “al-baghyu”, berlebihan. Perbuatan yang melampaui batas tidak disukai oleh Tuhan. Term “wahabi lingkungan” untuk WALHI dan aktivis lingkungan akan berubah menjadi ‘al-Baghyu’ apabila ditujukan untuk membenarkan eksploitasi.
Dalam membaca persoalan lingkungan ini, kita perlu meminjam kacamata Prof. KH. Shofiyullah Muzammil, yang memperkenalkan Qirā`ah Mu’āshirah fil Ahkām (pembacaan kontemporer terhadap hukum). Di sini menurutmya, hukum harus dibaca melalui tiga dimensi; metodologis, sosiologis dan psikologis.
Maka mengenai terma WALHI yang disebut sebagai Wahabi Lingkungan, Gus Ulil rasanya belum cukup jika hanya membaca dari sisi metodologis saja. WALHI mirip Wahabi atau tidak, juga harus mempertimbangkan aspek lainnya, yaitu sosiologis dan psikologis.
Selama ini, WALHI selalu berkonflik dengan penguasa dan pengusaha karena alasan perampasan lahan, deforestasi, dan alih fungsi lahan. Ketika penguasa dan pengusaha menggunakan kekerasan, termasuk konflik dengan oligarki tambang di pulau Gag Raja Ampat, WALHI turun tangan untuk memberikan advokasi.
Atas nama perampasan tanah oleh korporasi, deforestasi dan dampak perubahan iklim, WALHI berperan dalam advokasi, pendampingan masyarakat, dan melaporkan pelanggaran lingkungan kepada pihak berwenang.
Maka Gus Ulil tidak bisa tidak, harus membaca dimensi sosiologis dan psikologis korban yang merasakan manfaat advokasi WALHI. Jika masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat dari program-program WALHI, atau kehadiran WALHI menciptakan ketidaknyaman psikologis masyarakat, maka Gus Ulil sudah tepat dengan tesisnya, ‘WALHI Wahabi Lingkungan’.
Mengapa pembacaan metodologis saja tidak cukup? Jawabannya karena teks tidak saja memiliki makna gramatikal yang tunggal. Tetapi, teks juga menyimpan dampak psikologis (Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, 1998: 27).
Kerena teks tidak bermakna tunggal, maka WALHI dan Gus Ulil sama-sama perlu keluar dari paradigma masing-masing. Keluar dari lingkungan yang sempit untuk menemukan panorama sosial yang lebih kompleks. Hanya dengan cara keluar dari subjektifitas, objektifitas dapat ditemukan.
Pencarian objektifitas harus dilakukan dengan nalar rasional. Objektifitas terdapat dalam rasionalitas. Tanpa keluar dari batas-batas subjektif masing-masing, WALHI dan Gus Ulil hanya akan terjebak dalam pengetahuan apriori (Milton K. Munitz, Contemporery Analitic Philosopy, 1981: 40).
Upaya keluar dari pengetahuan apriori—dengan saling mengenal dan memahami posisi masing-masing pihak—akan membuahkan semacam pemahaman tentang ‘batasan’ (Hudūd). Ada Hudūd yang tidak bisa dilewati oleh aktivis lingkungan maupun oleh Gus Ulil yang pro tambang.
Pengetahuan tentang _Hudūd_ ini adalah pengetahuan yang harus bersifat aposteriori, rasional, berdasarkan data empiris. Oleh karenanya, WALHI sebagai Wahabi Lingkungan atau tidak, hanya ketika konsep dan kerangka _Hudūd_ ini sudah jelas. Kejelasan tidak cukup bersifat metodologis, tetapi juga sosiologis-psikologis.
Untuk itu, perlu pemeriksaan ulang. Lieven Boeve mengatakan bahwa sejarah dan kebenaran teologis harus selalu diperiksa ulang dan dilakukan rekontektualisasi, hingga betul-betul menjadi lebih terpercaya (The Particularity of Religious Truth Claims: How to Deal With It In A So-Called Post-Modern Context, 2003: 193).
Di sini, penulis coba untuk menghadirkan satu fakta empiris yang viral belakangan ini, bahwa kerusakan alam pulau Raja Ampat, Papua. Dalam konteks penambangan nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat, peran WALHI ataupun aktivis lingkungan pada umumnya sangat dibutuhkan.
Keindahan alam Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata, kini telah rusak parah. Masyarakat Raja Ampat mengajukan protes, karena telah dirugikan. Dalam kasus ini, peran WALHI dan aktivis lingkungan sedang dibutuhkan. Kerusakan lingkungan pulau Raja Ampat bisa disebut melampaui Hudūd.
Sebagai pulau kecil, Pulau Gag seharusnya bebas dari semua kegiatan ekstraktif yang menyimpan daya rusak tinggi (merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023). Alih-alih, dengan luas hanya sekitar 6.030,53 hektar, luas konsesi GN lebih dari 13.136 hektar. Itu berarti aktivitas tambang tidak hanya berpotensi ‘menghabiskan’ daratan pulau, tetapi juga lautnya.
Penambangan mineral di pulau kecil telah nyata dan berdasarkan data empiris dapat menimbulkan kerusakan yang tidak bisa pulih (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi.
Selain itu, menurut Torianus Kalami, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) aktifitas penambangan di pulau Gag telah mengabaikan dampak lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengabaikan proses transparansi di awal yang seharusnya melibatkan masyarakat secara substansial.
Dengan begitu, WALHI dengan pengalamannya telah memberikan data empiris dan Gus Ulil dengan hipotesisnya, Wahabi Lingkungan, harus diperiksa ulang termanya. Apalagi dalam kaidah usuhul disebutkan bahwa dar’ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (menolak sesuatu yang lebih besar negatifnya lebih diutamakan daripada menghadirkan positif).
Dalam wilayah publik, setiap pihak bisa mengkalim kebenaran masing-masing, tetapi data dan dampak buruknya pada masyarakat tak bisa dikaburkan dengan sebuah terma dan hipotesa. Wallahu'alm bishawab
*Pengasuh PP Baitul Kilmah dan Dosen Budaya di STIPRAM Yogyakarta.