Syaiful Bahri.
Oleh: Syaiful Bahri
Kehadiran Bandara Militer Terpadu di Situbondo, yang juga direncanakan melayani penerbangan sipil adalah kebijakan high-impact yang menjanjikan lompatan ekonomi sekaligus penguatan pertahanan nasional. Namun, proyek ambisius ini menuntut kewaspadaan dan perencanaan matang pada tiga pilar krusial: lingkungan, keamanan, dan sumber daya manusia (SDM).
1. Isu lingkungan dan keberlanjutan kontrak sosial dengan alam
Pembangunan infrastruktur raksasa, terutama yang melibatkan lahan luas seperti Bandara Kiai As'ad (sebagaimana namanya kelak), selalu membawa risiko lingkungan, apalagi lokasinya strategis di dekat pantai. Situbondo harus memastikan bahwa proyek ini tidak dibayar mahal dengan kerusakan ekosistem lokal.
Laporan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) harus dipublikasikan secara terbuka dan dijadikan blueprint yang mengikat. Mitigasi dampak kebisingan dari operasional jet tempur terhadap permukiman terdekat dan kawasan konservasi harus direncanakan secara serius.
Karena proyek ini melibatkan area yang membentang hingga pelabuhan, risiko sedimentasi, polusi laut, dan gangguan terhadap mata pencaharian nelayan harus diminimalisir. Manajemen limbah berstandar militer (limbah B3) harus diterapkan secara disiplin untuk mencegah pencemaran tanah dan air.
2. Keamanan dan keseimbangan sipil-militer
Bandara ini unik, karena merupakan fasilitas militer pertama di Indonesia yang terintegrasi untuk latihan tiga matra sambil tetap melayani penerbangan sipil. Sinergi ini adalah berkah sekaligus tantangan regulasi.
Pemisahan yang Jelas: Kunci keberhasilannya adalah pemisahan yang ketat antara fungsi pertahanan dan fungsi komersial. Harus ada akses dan zona terbatas (restricted area) yang terdefinisikan secara fisik dan operasional. Masyarakat harus diedukasi mengenai batas-batas keamanan ini.
Regulasi Airspace Terkoordinasi: Otoritas penerbangan sipil dan TNI AU wajib membangun mekanisme koordinasi jadwal dan jalur penerbangan yang super-efisien. Aktivitas latihan militer berskala internasional tidak boleh mengorbankan atau menunda penerbangan komersial Umrah, Haji, atau logistik Situbondo. Ini memerlukan Air Traffic Control (ATC) dengan standar tertinggi.
Menjaga Stabilitas Regional: Kehadiran pusat latihan militer bertaraf internasional akan menarik perhatian global. Kesiapan keamanan regional Situbondo harus ditingkatkan untuk menjaga stabilitas, agar manfaat ekonomi dari kehadiran delegasi asing dapat dinikmati tanpa menimbulkan risiko keamanan.
3. Kesiapan aspek sumber daya manusia (SDM) lokal
Sebuah proyek Rp1,7 triliun hanya akan menjadi "tontonan" jika tenaga kerjanya didatangkan dari luar. Situbondo harus memastikan warganya menjadi subjek, bukan objek pembangunan.
Program Pelatihan Masif: Pemerintah Daerah perlu segera meluncurkan program pelatihan khusus yang terintegrasi dengan kebutuhan bandara: manajemen logistik penerbangan, jasa perhotelan, ground handling, keamanan bandara (non-militer), dan kemampuan bahasa asing.
Kemitraan UMKM: Buat payung hukum yang mewajibkan kontraktor dan operator bandara untuk berkolaborasi dengan UMKM lokal dalam penyediaan kebutuhan harian (katering, laundry, suvenir) bagi ribuan personel militer yang berlatih dan penumpang sipil.
Edukasi Vokasi: Kolaborasi dengan SMK dan Perguruan Tinggi setempat harus diperkuat agar kurikulum mereka segera disesuaikan untuk mencetak lulusan yang siap bekerja di sektor aviasi dan jasa yang tumbuh akibat bandara.
Penutup
Bandara Kiai As'ad adalah tiket emas Situbondo untuk terbang tinggi. Namun, landasan pacu menuju keberhasilan ini bukan hanya terbuat dari beton, melainkan juga dari komitmen lingkungan yang teguh, keseimbangan keamanan sipil-militer yang matang, dan investasi serius pada kualitas SDM lokal. Hanya dengan mengelola ketiga aspek kritis ini, Situbondo benar-benar dapat meraih berkah pembangunan yang berkelanjutan.
*Penulis merupakan wartawan HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com












