Syaiful Bahri.
Oleh: Syaiful Bahri*
Kabupaten Situbondo di bawah kepemimpinan Bupati Yusuf Rio Wahyu Prayogo atau dikenal Mas Rio telah meraih predikat membanggakan, yakni sebagai "Kabupaten UMKM". Sebuah penamaan yang didasari oleh prioritas kebijakan yang kuat, mulai dari bantuan permodalan tanpa bunga, hingga kebijakan wajib beli produk UMKM bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Visi menjadikan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi daerah adalah langkah strategis yang patut diapresiasi, terbukti mampu menekan angka kemiskinan dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) secara signifikan.
Namun, di balik narasi kesuksesan dan penghargaan, muncul suara sumbang dari lapangan: Sejumlah titik pasar atau sentra UMKM yang dibentuk, seperti "the City of Burnek", menunjukkan gejala kemerosotan, sepi peminat, bahkan stagnasi. Realitas ini menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan UMKM tidak cukup diukur dari jumlah lapak atau pinjaman yang diberikan, melainkan dari keberlanjutan pasar dan kemampuan bersaing UMKM itu sendiri.
Titik krusial: infrastruktur fisik vs infrastruktur pasar
Kebijakan Pemkab Situbondo tampak fokus pada dua pilar: infrastruktur fisik (pembuatan creative hub dan sentra/titik pasar baru) dan infrastruktur finansial (bantuan modal/Vorsa UMKM).
Pembuatan titik pasar baru, seperti yang terjadi di Burnek City, awalnya memang berhasil menarik perhatian dan menghasilkan omzet fantastis. Namun, ketika keramaian itu meredup, ini mengindikasikan adanya disonansi antara suplai (lapak UMKM) dan demand (minat dan daya beli konsumen) yang berkelanjutan.
Kritik mendasarnya terletak pada asumsi bahwa penyediaan tempat jualan secara otomatis akan menyelesaikan masalah pemasaran. Dalam era ekonomi modern, UMKM butuh lebih dari sekadar tempat. Mereka butuh akses pasar yang terdigitalisasi dan terintegrasi serta pengalaman konsumen yang menarik. Sentra UMKM yang sepi menunjukkan bahwa:
- Lokasi dan aksesibilitas: Meskipun awalnya ramai, mungkin lokasi tersebut kurang strategis secara jangka panjang atau tidak didukung oleh infrastruktur pendukung seperti transportasi publik dan fasilitas memadai lainnya.
- Inovasi dan diversifikasi: Jika produk yang dijual di sentra tersebut cenderung seragam, konsumen cepat bosan. Kegagalan sentra seperti Burnek bisa jadi karena kurangnya inovasi produk dan minimnya atraksi pendukung non-kuliner yang dapat mempertahankan daya tarik pengunjung.
Transformasi mindset melampaui bantuan modal
Bupati Situbondo telah menekankan bahwa mindset adalah kunci UMKM naik kelas, di samping pemberian insentif pinjaman modal tanpa bunga. Namun, praktik lapangan menunjukkan bahwa pendampingan untuk mengubah mindset ini belum berjalan secara merata atau berkelanjutan.
Program bantuan permodalan memang penting, tetapi jika pinjaman digunakan tanpa dibarengi literasi keuangan yang kuat (seperti yang diakui bupati, banyak yang mencampur uang usaha dan pribadi), serta strategi pemasaran digital yang efektif, maka modal tersebut hanya akan menjadi bantalan sesaat alih-alih pendorong pertumbuhan.
Hal ini juga berlaku untuk kebijakan wajib beli ASN. Meskipun efektif sebagai demand awal, kebijakan ini rentan terhadap keengganan ASN jika kualitas produk tidak membaik. Ketergantungan pada captive market (pasar terikat) seperti ASN justru dapat menumpulkan insting UMKM untuk berkompetisi dan berinovasi di pasar bebas.
Rekomendasi: Mengubah fokus dari "Titik" ke "Jejaring"
Untuk memastikan predikat Kabupaten UMKM benar-benar menjadi fondasi ekonomi Situbondo yang tangguh, Pemkab perlu melakukan pergeseran fokus kebijakan sebagai berikut:
- Optimalisasi Digitalisasi: Alih-alih terlalu fokus pada pembangunan fisik sentra baru, pemkab harus mengintensifkan pendampingan digital. Ini mencakup pelatihan untuk branding produk lokal, penguasaan e-katalog untuk belanja pemerintah, dan aktif berkolaborasi dengan e-commerce besar untuk memperluas jangkauan pasar hingga ke luar Situbondo.
- Kurasi dan Inkubasi: Sentra yang ada, seperti the City of Burnek, perlu direvitalisasi dengan kurasi ketat pada jenis produk dan inkubasi bisnis yang wajib diikuti pelaku usaha. Berikan insentif hanya kepada UMKM yang menunjukkan inovasi dan komitmen perbaikan kualitas produk, sehingga sentra tersebut menjadi representasi produk terbaik Situbondo, bukan sekadar menampung lapak.
- Pendampingan Supply Chain: Masalah UMKM bukan hanya di ujung (penjualan), tetapi juga di hulu (bahan baku dan produksi). Pemkab harus memastikan rantai pasok lokal berjalan efisien, yang meliputi pelatihan standardisasi kualitas, manajemen stok, dan efisiensi produksi.
Predikat "Kabupaten UMKM" adalah awal yang baik, tetapi tantangan sebenarnya adalah memastikan tidak ada UMKM yang ditinggalkan. Keramaian yang meredup di beberapa sentra harus dilihat sebagai lampu merah untuk segera mengubah strategi, dari sekadar penyedia lapak menjadi fasilitator pasar yang berkelanjutan dan kompetitif.
*Penulis adalah wartawan HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com













