Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA saat melantik Pengurus Wilayah Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Pengurus Cabang Pergunu, dan Pengurus Anak Cabang Pergunu se-Sulawesi Utara (Sulut) di Hotel The Sentral Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (8/11/2025). Foto: MMA/bangsaonline
MANADO, BANGSAONLINE.com – Inilah pernyataan keren dari tokoh pendidikan pesantren Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA tentang Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual seorang anak. Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur itu mengaku tak percaya terhadap pendapat yang mengatakan bahwa IQ adalah bawaan anak sejak lahir.
“Saya menentang pendapat yang mengatakan bahwa IQ itu bawaan (lahir),” tegas Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA dalam ceramahnya seusai melantik Pengurus Wilayah Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Pengurus Cabang Pergunu, dan Pengurus Anak Cabang Pergunu se-Sulawesi Utara (Sulut) di Hotel The Sentral Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (8/11/2025).
“Kalau IQ tu bawaan, bakar saja buku-buku IQ di toko-toko buku itu, untuk apa,” tambah Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.
Menurut Kiai Asep, kecerdasan seorang anak bisa diciptakan. Artinya, anak yang bodoh pun bisa dibuat menjadi cerdas dan pintar.
“Tergantung kualitas guru dan sistem pendidikan kita,” tegas putra pahlawan nasional KH Abdul Chalim itu.
Kiai Asep tentu tak asal bicara. Kiai miliarder tapi dermawan itu telah membuktikan lewat lembaga pendidikan yang diasuhnya. Yaitu Pondok Pesantren Amaantul Ummah. Tahun ini, 2025, sebanyak 1.258 santrinya lolos masuk pergurun tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi luar negeri tahun ini.
Jumlah ini naik 100 persen lebih dari tahun sebelumnya. Tahun sebelumnya,2024, sebanyak 624 santri Amaantul Ummah diterima di PTN dan luar negeri, terutama Timur Tengah dan Eropa serta Amerika Serikat.
“Bahkan ada seorang anak Amanatul Ummah diterima di 11 perguruan di Amerika Serikat,” kata Kiai Asep.
Santri yang dimaksud Kiai Asep itu adalah M. A. Gymnastiar Putra. Siswa Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) Amanatul Ummah itu diterima di 11 kampus di luar negeri; mulai Amerika, Australia, hingga Belanda di benua Eropa.
Namun Gymnastiar Putra memutuskan kuliah di Colorado School of Mines, Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan teknik pertambangan. Alasannya, selain di kampus ini ia dapat beasiswa, perguruan tinggi tersebut secara keilmuan dikenal sebagai kampus yang menjadi rujukan dunia internasional.
Kiai Asep mengakui bahwa ada unsur genetika dalam IQ seorang anak. Tapi tidak mutlak.
“Tak ada murid bodoh. Yang ada adalah murid yang tidak mendapatkan pengajaran yang baik dari seorang guru,” ujar Kiai Asep.
“Karena itu gurunya harus berkualitas, harus selalu meningkatkan kompetensinya,” tambahnya.
Kiai yang mengaku pernah menjadi kuli bangunan, karena terlilit kemiskinan saat ditinggal ayahnya itu, mengatakan bahwa anak yang bodoh bisa dikatrol secara intelektual dan akademik.
Caranya?
“Kalau di Amanatul Ummah anak-anak yang IQ-nya masih rendah itu dikumpulkan jadi satu dengan tingkat IQ yang sama,” kata Kiai Asep.
Menurut Kiai Asep, ketika anak-anak itu dikumpulkan dengan tingkat IQ yang sama, maka muncul kompetisi atau persaingan secara natural atau alami.
“Dari situlah mulai muncul kecerdasan. Kan kecerdasan itu muncul dari mengerti. Jadi, kalau anak itu mengerti tentang pelajaran yang diajarkan gurunya, maka dia akan semakin tertarik belajar dan makin bersemangat untuk belajar,” kata Kiai Asep.
Nah, dari proses itulah IQ mereka terus naik. Sehingga mereka memiliki kecerdasan tinggi.
"Jadi murid yang semula tertinggal akhirnya bisa mengejar teman-temannya yang IQ-nya tinggi," tegasnya.
Pada tahap akhir, menurut Kiai Asep, IQ santri Amanatul Ummah mencapai 130.
Kiai Asep mengakui bahwa untuk meningkatkan kecerdasan itu adalah tugas yang paling sulit dalam pendidikan. Tapi tugas mulia itu harus dilaksanakan oleh seorang guru. Karena tugas utama guru adalah mentransfer ilmu kepada anak didik secara sempurna.
“Al ’ilmu huwal fahmu. Ilmu itu paham, ilmu itu mengerti. Kalau murid belum mengerti berarti ya belum berilmu,” tegas Kiai Asep kemudian.












