Aguk Irawan, MN.
Oleh: Aguk Irawan, MN
Dinamika di tubuh Nahdlatul Ulama, belakangan ini, serupa gelombang pasang di laut Jawa; riuh, berbusa, dan penuh ketegangan. Kata-kata keras terlontar, keputusan pleno dipertanyakan, seolah Khittah 1926 hanya jadi catatan kaki di buku usang. Namun, di tengah riak itu, muncullah Lirboyo, sebuah nama pesantren tua di Kediri, sebagai wasilah dan ruang islah tempat para kiai sepuh bertemu, mengingatkan kembali akan pentingnya persatuan dan marwah jam'iyyah.
Islah tercapai. Kesepakatan untuk mempercepat Muktamar bersama adalah jalan tengah, sebuah tawaran bijak dari mereka yang lebih dulu makan garam perjuangan. Meski masih ada bisik-bisik soal surat-surat yang beredar hanya dari satu pihak atau keputusan Pleno yang belum "dinasakh" (dibatalkan), waktu, agaknya, punya cara sendiri untuk meluruhkan ketegangan, seperti hujan rintik membasahi debu jalanan.
Fakta administrasi, yang seringkali kering dari makna spiritual, juga bicara. Di daftar Departemen Hukum dan HAM, nama Rais Aam-Katib Am dan Ketua Umum-Sekjen masih tertera seperti sedia kala, berempat dalam satu paket kepengurusan hasil Muktamar Lampung. Maka, membuat Muktamar tanpa melibatkan nama-nama tersebut, tanpa alas hukum yang kuat, menjadi "subhat", meragukan keabsahannya di mata organisasi maupun hukum negara. Jalan "muktamar bersama" pun menjadi keniscayaan.
Kini, pertanyaan mengemuka. Di manakah sebaiknya permusyawaratan tertinggi itu nantinya akan digelar? Tawaran logis mengarah ke Bangkalan, Madura. Mengapa Bangkalan? Tempat ini bukan sekadar titik geografis. Ia adalah episentrum sejarah, "nol kilometer" NU.
Di sanalah Syaikhona Kholil, sang guru para pendiri, memberikan tongkat komando (melalui Kiai As'ad Syamsul Arifin) kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari untuk mendirikan organisasi ini. Setelah satu abad usia NU, napak tilas ke titik awal ini, ke Bangkalan, adalah sebuah ibrah, pelajaran berharga, untuk tajdid (pembaharuan) perjuangan, untuk kembali ke khittah para pendiri.
Bangkalan juga belum pernah menjadi tuan rumah Muktamar reguler, menjadikannya pilihan segar yang punya nilai historis mendalam. Momentum penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Syaikhona Kholil menambah gaung urgensi spiritual dan nasionalisme di sana.
Dan yang terpenting, muktamar di sana akan menawarkan nuansa yang berbeda: kesederhanaan pesantren dan masyarakat yang menyatu, bukan kemewahan hotel berbintang yang seringkali membuat jarak antara ulama dan umatnya. Di Bangkalan, di bawah bayang-bayang petuah Syaikhona Kholil, mungkin NU bisa menemukan kembali kesejatiannya. Biarlah waktu yang menjawab, tapi usulan ini, setidaknya, adalah ikhtiar untuk menjahit kembali kain NU yang sempat terkoyak. Wallahu'alam bishawab.






