
BANGSAONLINE.com - Mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry Indonesia (periode 4 April 2019-20 Juni 2020), Christine Hutabarat, dihadirkan sebagai saksi oleh jaksa penuntut umum dalam sidang kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP.
Dalam kesaksiannya, ia menyebut kerja sama usaha (KSU) antara kedua perusahaan itu menguntungkan.
“Benar kerja sama itu menguntungkan, market share PT ASDP juga bertambah,” ujarnya saat bersaksi pada Kamis (7/8/2025).
Ia juga membenarkan bahwa dirinya menganjurkan agar kerja sama tersebut diperpanjang, sebagaimana tercatat dalam risalah rapat direksi April 2020. Menurut Christine, hal itu sejalan dengan misi PT ASDP sebagai BUMN.
“Itu sesuai misi perusahaan ASDP sebagai BUMN yang harus untung tapi juga harus menjadi agen pembangunan dengan menyediakan kapal untuk daerah 3T, daerah tertinggal, terluas, dan terdepan,” tuturnya.
Dalam perkara ini, terdapat 3 terdakwa, yakni Ira Puspadewi (Direktur Utama PT ASDP 2017-2024), Harry Muhammad Adhi Caksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan 2020-2024), dan Muhammad Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan 2019-2024).
Kuasa hukum terdakwa, Goenadi, menanyakan kepada Christine soal keuntungan yang diperoleh dari kerja sama dimaksud. Christine menjawab, “Keuntungannya adalah Rp 5 miliar.”
Goenadi kemudian merinci, keuntungan sebenarnya adalah Rp6 miliar pada tahap pertama dan Rp5 miliar pada tahap kedua, sehingga totalnya mencapai Rp11 miliar selama 2 tahun.
Christine juga menjelaskan, pembiayaan kerja sama berasal dari hasil penjualan tiket kapal yang dioperasikan bersama, dengan sistem reimbursement.
“ASDP tidak mengeluarkan permodalan sendiri, PT JN membiayai sendiri operasionalnya dengan sistem reimbursement,” kata Goenadi.
Jaksa penuntut umum turut menggali landasan hukum kerja sama ini. Christine menyebut, perjanjian telah mendapat rekomendasi dari Kementerian BUMN dan Dewan Komisaris sebelum diteken pada 23 Oktober 2019.
Kajian kelayakan kerja sama dilakukan oleh 2 konsultan independen, NMP Consultant dan Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Keduanya menyatakan bahwa kerja sama itu layak secara teknis dan finansial.
“Dari hasil kajian tim internal dan konsultasi dari luar, dan hasilnya kerja sama itu layak. Kajian ini sudah komprehensif, ada kajian teknis, geografis, mitigasi risiko, analisis finansial,” urai Christine.
Menjawab pertanyaan hakim mengenai 2 perjanjian kerja sama yang diteken pada 23 Agustus dan 30 Oktober 2019, Christine menjelaskan bahwa perjanjian pertama bersifat umum, sementara perjanjian kedua memuat detail teknis seperti pembagian pendapatan.
“Sebelum kerja sama itu memang sudah ada follow up rapat-rapat dengan Kementerian BUMN dan sudah ada konsultasi dengan konsultan independen,” cetusnya. (mar)