Sidang pembacaan Duplik dari tim pembela hukum terdakwa kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Ferry Indonesia.
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Ketua tim pembela hukum 3 mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Soesilo Ariwibowo, menegaskan bahwa replik jaksa penuntut dalam kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) tidak berdasar pada fakta persidangan. Ia menilai Undang-Undang BUMN yang baru semestinya diberlakukan dalam perkara ini.
“Apa gunanya DPR membuat UU BUMN baru itu kalau tidak diterapkan di kasus seperti ASDP ini. Mau tidak mau kalau kita mau menegakkan hukum, UU BUMN baru itu mutlak harus diberlakukan, lebih khususnya yang kaitannya dengan pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya usai sidang pembacaan duplik, Kamis (13/11/2025).
Ia merujuk pada Pasal 4B UU Nomor 16 Tahun 2025 tentang BUMN yang menyatakan bahwa kerugian BUMN bukanlah kerugian negara. Menurut dia, penggunaan pasal kerugian negara dalam UU Tipikor tidak relevan lagi.
“Dalam hukum dikenal asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, UU BUMN 2025 lebih baru dibanding UU Tipikor, sehingga mengungguli aturan lama,” tuturnya.
Soesilo menambahkan, modal dan keuntungan BUMN adalah kekayaan perusahaan, bukan kekayaan negara. Maka, kerugian BUMN tidak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara.
Hal senada disampaikan Gunadi Wibisono, anggota tim pembela lainnya. Ia menyebut banyak bagian replik jaksa yang hanya mengutip sepihak tanpa mempertimbangkan keterangan saksi lain yang justru memperkuat pembelaan.
“Banyak bagian jawaban PU hanya mengutip sepihak tanpa mempertimbangkan keterangan saksi lain. Keterangan saksi justru menguatkan pembelaan,” cetusnya.
Dalam duplik setebal 40 halaman, tim pembela mempersoalkan sejumlah poin dakwaan yang telah dibantah di persidangan, seperti pengaturan jadwal kapal PT JN, ketergantungan keuangan PT JN terhadap ASDP, hingga jamuan makan yang terjadi dua tahun setelah akuisisi.
Gunadi juga menyoroti penghitungan kerugian negara oleh auditor forensik KPK, Miftah Aulani Rachman, yang dinilai tidak sah karena tidak memiliki sertifikasi dan tidak memenuhi standar audit BPK.
“Dia tidak memiliki sertifikat yang disyaratkan untuk menghitung kerugian negara. Analisisnya juga tidak memenuhi standar audit BPK. Miftah sendiri menyalahi kode etik karena memiliki konflik kepentingan,” katanya.
Ia merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2016 dan 2/2024 yang menyatakan bahwa hanya BPK yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara.
Tim pembela juga mempertanyakan validitas alat bukti berupa percakapan elektronik yang belum diverifikasi secara forensik dan tidak dikonfirmasi kebenarannya oleh saksi.
“Bukti percakapan yang dijadikan dasar oleh penuntut umum tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, karena tidak diperoleh sesuai ketentuan hukum,” ucap Gunadi.
Kasus ini menjerat mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Tjaksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan 2020-2024), dan Muhammad Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan 2019-2024). Ketiganya didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp1,25 triliun.
Sidang akan dilanjutkan pada Kamis (20/11/2025), dengan agenda pembacaan vonis. Saat dimintai tanggapan, Ira Puspadewi hanya berkata singkat, “Doakan saja kami ya.” (rom)













