
TULUNGAGUNG, BANGSAONLINE.com - Masih banyak masyarakat yang salah paham mengenai sistem pembayaran layanan kesehatan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah satu anggapan yang kerap beredar adalah bahwa dokter di fasilitas kesehatan (faskes) hanya dibayar Rp2 ribu oleh BPJS Kesehatan. Padahal, informasi tersebut tidak benar.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Tulungagung, Fitriyah Kusumawati, menjelaskan bahwa mekanisme pembayaran dalam Program JKN telah diatur secara jelas melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
“Kami ingin meluruskan pemahaman di masyarakat. Pembayaran layanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) menggunakan sistem kapitasi, sedangkan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) atau rumah sakit menggunakan sistem Indonesia Case-Based Groups (INA-CBGs). Jadi, BPJS Kesehatan tidak membayar langsung kepada dokter, melainkan kepada fasilitas kesehatan tempat dokter tersebut bekerja,” kata Fitri, Kamis (9/10/2025).
Menurut Fitri, sistem kapitasi di FKTP diterapkan untuk menjamin keberlanjutan layanan. Dalam sistem ini, BPJS Kesehatan membayar faskes setiap bulan berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar, bukan dari banyaknya pasien yang datang berobat.
“Artinya, meskipun peserta tidak berobat, FKTP tetap mendapatkan pembayaran sesuai jumlah peserta terdaftarnya. Dana tersebut digunakan untuk operasional fasilitas kesehatan, termasuk gaji tenaga medis, pembelian obat, dan peningkatan sarana pelayanan,” jelasnya.
Sistem kapitasi ini dinilai efisien karena membuat puskesmas, klinik, maupun praktik dokter mandiri tetap memiliki pendapatan tetap setiap bulan. Dengan begitu, faskes bisa fokus pada upaya promotif dan preventif, seperti edukasi kesehatan dan deteksi dini penyakit, tanpa menunggu pasien sakit terlebih dahulu.
Sementara untuk rumah sakit atau FKRTL, sistem pembayarannya menggunakan INA-CBGs. Dalam sistem ini, BPJS Kesehatan membayar paket layanan berdasarkan diagnosis penyakit dan tindakan medis yang dilakukan, bukan berdasarkan lama perawatan atau biaya yang dikeluarkan rumah sakit.
“Tarif INA-CBGs ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan kajian biaya medis, obat-obatan, serta perbedaan kelas rumah sakit dan wilayah regional. Jadi, semua sudah terstandar dan diatur dalam regulasi nasional,” ungkapnya.
Fitri juga menegaskan bahwa sebagian besar pasien di fasilitas kesehatan saat ini adalah peserta JKN. Artinya, pendapatan faskes banyak berasal dari peserta program ini, baik dari pembayaran kapitasi maupun klaim INA-CBGs. Dana tersebut kemudian dikelola oleh masing-masing faskes untuk memperbaiki layanan, menambah tenaga medis, dan meningkatkan fasilitas bagi masyarakat.
“Setiap tahun, jumlah fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan terus bertambah. Sebelum kerja sama dilakukan, kami bersama Dinas Kesehatan dan organisasi profesi melakukan proses kredensialing untuk memastikan faskes tersebut memenuhi standar pelayanan sesuai ketentuan,” terangnya.
Fitri menegaskan bahwa kolaborasi antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan menjadi kunci dalam menjaga mutu layanan bagi peserta. BPJS Kesehatan juga terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap faskes yang bekerja sama, agar kualitas pelayanan tetap sesuai standar dan hak peserta JKN terjamin.
“Bagi masyarakat yang belum menjadi peserta aktif JKN, kami mengimbau agar segera mendaftar. Dengan menjadi peserta JKN, bukan hanya diri kita yang terlindungi, tetapi juga turut menjaga keberlangsungan jaminan kesehatan nasional melalui prinsip gotong royong,” pungkasnya. (fer/msn)