
JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Baru dilantik sebagai menteri keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa sudah bikin heboh. Itu terkait tuntutan mahasiswa dan masyarakat yang populer dengan istilah 17+8 yang sekarang lagi menjadi pembahasan nasional.
"Saya belum mempelajari itu (tuntutan 17+8), tapi basically begini, itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa, mungkin sebagian ngerasa keganggu, hidupnya masih kurang ya. Once saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6 persen, 7 persen, itu akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo," ujar Purbaya Yudhi Sadewa ketika menjawab pertanyaan wartawan.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dari UPN Veteran Jakarta, menilai pernyataan Purbaya yang menganggap 17+8 hanya sebagai suara dari sebagian kecil rakyat itu jelas berbahaya bagi publik dan pasar. Ia menilai Purbaya terlalu percaya diri bahwa pertumbuhan ekonomi 6-7 persen akan otomatis meredam tuntutan rakyat.
“Apakah ke depan ia akan menjadi manajer fiskal yang kredibel, atau justru berbahaya bagi stabilitas publik dan pasar?” tulis Achmad dalam keterangan tertulis, Selasa (9/9/2025)
Dilansir Tempo, Achmad menganggap Purbaya overconfidence alias terlalu percaya diri. Menurut dia, seorang pejabat ekonomi ibarat sopir yang terlalu percaya diri bisa melaju kencang di jalan licin. Alih-alih tiba lebih cepat, katanya, risiko kecelakaan justru meningkat.
Menurut Achmad, pernyataan Purbaya mengandung dua bahaya besar. Pertama, ia menyederhanakan persoalan yang kompleks, sebab demonstrasi bukan sekadar masalah perut. Kritik publik muncul karena kesenjangan, ketidakadilan, dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan.
“Menganggapnya hanya karena hidup kurang enak mereduksi makna demokrasi," tegas Achmad Nur Hidayat.
Bahaya kedua, tegas Achmad, karena pasar otomatis membaca sinyal dari setiap ucapan Menkeu. Jika sinyal itu berupa keyakinan berlebihan tanpa rencana konkret, maka pasar bisa ragu pada kapasitas pemerintah mengelola fiskal. “Keraguan ini berpotensi mendorong volatilitas nilai tukar, menahan investasi, bahkan memicu pelarian modal,” kata Achmad Nur Hidayat.
Menurut Achmad, pertumbuhan ekonomi 8 persen seharusnya bukan sekadar slogan.
“Publik ingin peta jalan jelas mengenai apa strategi penciptaan lapangan kerja, bagaimana distribusi hasil pertumbuhan, serta sejauh mana belanja negara diarahkan pada infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan,” kata Achmad Nur Hidayat menjlentrehkan.
Masih menurut Achmad, pernyataan Purbaya bahwa rakyat akan berhenti demo kalau ekonomi tumbuh, tidak hanya dangkal, tetapi juga berpotensi merusak komunikasi pemerintah dengan rakyat. “Kredibilitas seorang Menkeu, tidak diukur dari retorika, melainkan dari konsistensi eksekusi kebijakan,” ujar Achmad Nur Hidayat..
Dia menyarankan beberapa hal bagi Purbaya yang dikenl sebagai orang dekat Luhut Binsar Panjaaitan itu.
Pertama, tegas Achmad, membangun kredibilitas fiskal. “APBN harus dikelola dengan disiplin, transparan, dan berorientasi jangka panjang. Di samping itu, target pertumbuhan tinggi tak boleh mengorbankan keseimbangan fiskal,” sara Achmad Nur Hidayat.
Kedua, tegas Achmad algi, Purbaya perlu membuka ruang dialog dengan publik. Achmad mengingatkan bahwa kritik dari masukan adalah masukan, bukan gangguan.
“Seorang Menkeu harus menunjukkan telinga yang peka, bukan hanya mulut yang lantang,” uajr Achmad lagi.
Ketiga, visi Presiden harus dijalankan dengan program yang nyata. “Belanja produktif harus diperluas, reformasi birokrasi dipercepat, serta hambatan investasi harus dipangkas. Yang tak kalah penting, sinergi dengan kebijakan moneter perlu diperkuat agar ekspansi fiskal tidak memicu inflasi,” kata Achmad.
Keempat, uangkap Achmad, Purbaya harus menjaga komunikasi publik, karena Menkeu adalah wajah fiskal Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, setiap kata yang diucapkan harus menenangkan publik dan meyakinkan pasar, bukan malah menciptakan kegaduhan baru.
Achmad Nur Hidayat juga memperingatkan Purbaya dalam tiga hal. Pertama, jangan meremehkan kritik publik karena suara masyarakat adalah fondasi demokrasi.
Kedua, jangan terjebak dalam retorika tanpa strategi. Achmad mengatakan publik sudah kenyang janji muluk, sehingga yang dibutuhkan adalah peta jalan detail dengan indikator yang terukur.
Ketiga, jangan biarkan percaya diri berlebihan menjadi gaya kepemimpinannya. Menurut Achmad, target 8 persen pertumbuhan, hanya bisa tercapai dengan perhitungan matang, bukan sekadar optimisme pribadi.
Achmad Nur Hidayat bahkan mengatakan bahwa Purbaya kini berada di persimpangan. “Apakah ia akan menjadi ekonom dengan retorika optimistis yang kontroversial, atau justru menjadi pemimpin fiskal yang kredibel dan mampu mengeksekusi visi Presiden,” tegasnya.
Menurut dia, jika Purbaya mampu menahan diri, mendengar publik, menjaga kredibilitas fiskal, dan mengeksekusi strategi dengan cermat, maka pertumbuhan 8 persen bukan hal yang mustahil.
“Namun, jika overconfidence dibiarkan mendikte kebijakan, maka bukan pertumbuhan yang kita dapat, melainkan ketidakstabilan sosial-ekonomi yang berbalik merugikan bangsa,” tegasnya.