Salah Satu Ciri Intelektual: Berpikiran Terbuka

Salah Satu Ciri Intelektual: Berpikiran Terbuka Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Dua guru besar ini punya integritas dan reputasi tinggi di bidangnya masing-masing. Nah, Dahlan Iskan kali ini tak banyak menulis. Tapi menurunkan pandangan dua profesor yang dua-duanya kontra dan kritis terhadap yang diperjuangkan dr Terawan.

Pandangan dua profesor itu dituangkan dalam surat terbuka. Bagaimana isinya? Silakan simak di Disway dan HARIAN BANGSA pagi ini, Senin 19 April 2021. Di bawah ini BANGSAONLINE.com juga menurunkan secara utuh. Selamat membaca:

INI bukan karena saya malas menulis. Atau kehabisan bahan. Ini karena saya merasa wajib menurunkan dua tulisan ilmuwan ini di Disway hari ini.

Dua-duanya saya kenal baik. Dua-duanya saya hormati sebagai orang yang punya integritas tinggi. Dua-duanya profesor senior: Prof Dr Ario Djatmiko dan Prof Dr Djohansjah Marzoeki.

Bahkan dua-duanya adalah guru besar yang sangat berprestasi di dunia nyata: dr Mik –panggilan untuk Prof Dr Ario Djatmiko membangun rumah sakit kanker yang pertama di Surabaya. Reputasinya di bidang kanker tak tertandingi. Tak ayal kalau dr Mik sekarang menduduki jabatan ketua dewan pakar pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Anak perempuan saya, Isna Iskan, adalah pasien yang memercayakan penyelesaian benjolan di payudaranya di tangan beliau. Sejak lebih 10 tahun lalu.

Prof Djohansjah adalah pelopor bedah plastik di Surabaya. Ia saya kenal sebagai tokoh pejuang penegakan masyarakat ilmiah.

Artikel-artikelnya banyak membahas soal impiannya mengenai masyarakat ilmiah. Saya akrab dengan Prof Djohansyah –meski belum pernah menjadi pasien bedah plastiknya. Suatu saat saya bergurau dengan beliau: sayangnya di kampus sendiri juga masih sering terjadi banyak hal yang tidak ilmiah.

Di Surabaya masih ada satu lagi legenda hidup di bidang kedokteran. Beliau ahli jantung tapi juga lebih dikenal sebagai seorang : Prof Dr Puruhito. Tapi saya belum melihat beliau menulis soal VakNus-nya dokter Terawan Agus Putranto –yang diserang banyak orang itu.

Saya menurunkan dua tulisan guru besar tersebut di Disway hari ini sebagai wujud keterbukaan pikiran. Meski Disway mendukung VakNus tidak boleh menutup pikiran dari pendapat lain. Salah satu ciri adalah: berpikiran terbuka.

Simaklah dua naskah yang tidak panjang ini:

***

Prof. Dr. Ario Djatmiko:

Saya akui pengaruh medsos hebat sekali. Banyak penulis yang sangat piawai mengolah kata dalam bahasa populis yang membuat orang terpesona.....

Tetapi mohon dipahami, bahwa bahasa populis amat berbeda dengan bahasa ilmiah. Bahasa populis didasari oleh opinion based (pendapat). Sedangkan bahasa ilmiah (science) didasari evidence based (pembuktian). Dalam bahasa ilmiah diperlukan tata cara yang memenuhi standar untuk dapat menyatakan kebenaran ilmiah, wajib ada design, sample size, placebo, reliable data, dasar etika, dan rumus pembuktian standard sebagai penentu.

Tidak bisa bahasa populis (opinion based-testimoni, dan lain-lain) dipakai menentukan langkah ilmiah.

Lha, BPOM hanya meminta tahapan riset sesuai standard universal (siap dikoreksi).

Tampaknya VakNus tidak bisa memenuhi... akhirnya ditolak.

Akibatnya suporternya para opinion based spontan bergerak dengan penuh semangat mendukung VakNus.

Barisan suporter ini luar biasa hebatnya, ada konglomerat, elite politik, mantan menteri, jenderal-jenderal, penulis populis yang amat andal. Sementara kegiatan ilmiah berbeda, dia tidak perlu dukungan siapa-siapa. Kebenaran ilmiah tidak bisa divoting,

Contoh:

Tidak bisa kita menyatakan mobil elektrik lebih efisien daripada mobil yang menggunakan bahan bakar dengan melakukan voting, dukung mendukung dengan mengundang banyak suporter. Jelas di sini kebenaran ilmiah tidak bisa diselesaikan dengan cara dukung mendukung (opini). ‘

Dia memerlukan tata cara riset yang benar, design reliable data, pegangan etika, dan perhitungan dengan rumus standar untuk menyatakan kebenaran bahwa e-mobil lebih efisien daripada bensin.

Lha, mengapa RSPAD jalan terus? Pertanyaan ini harus dijawab dengan pertanyaan pula, siapa yang harus jadi polisi (penertib) di dunia ilmiah?

Apakah BPOM itu juga punya wewenang sebagai penertib?

Lha, kalau ya, berarti BPOM kalah awu (takut) dengan RSPAD. Lantas bagaimana kalau akhirnya kebenaran ilmiah harus berubah karena ketakutan.....?

Alhamdulillah BPOM, tetap berdiri tegak memegang prinsip-prinsip ilmiah, dengan segala risikonya.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO