
SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun kepada Mantan Ketua DPRD Kota Malang Moch Arief Wicaksono.
Majelis hakim menilai Arief Wicaksono terbukti melanggar pasal 12 huruf a tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana dakwaan primer yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dari KPK.
Vonis tersebut dibacakan majelis hakim yang diketuai Hakim Unggul Warsito dalam sidang di Pengadilan Tipikor yang berada di Jalan Juanda Sidoarjo, Selasa (26/6).
"Mengadili, menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan jika tidak dibayar harus diganti dengan hukuman selama dua bulan," kata hakim Unggul membaca amar putusannya.
Tak hanya itu, dalam sidang ini majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik bagi terdakwa Arief Wicaksono. Yakni pencabutan hak dipilih selama dua tahun.
"Menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih selama dua tahun, terhitung sejak terdakwa selesai menjalani masa hukumannya," lanjut Unggul.
Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim terbilang lebih rendah dibanding tuntutan dari jaksa penuntut umum KPK. Yang dalam sidang sebelumnya meminta hakim menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama tujuh tahun, denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan dan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama lima tahun.
Usai mendengar putusan hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK maupun terdakwa dan kuasa hukumnya kompak menyatakan pikir-pikir saat ditanya hakim. Mereka memilih memanfaatkan waktu tujuh hari untuk memutuskan menerima atau banding atas putusan ini.
Kendati demikian, ditemui usai sidang, Jaksa KPK, Krisna Anto Wibowo, menyatakan bahwa putusan hakim tersebut sudah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
"Dakwaan primer terbukti, dan kami rasa putusan itu sudah sesuai dengan rasa keadilan bagi masyarakat," jawab jaksa Krisna.
Menurut Krisna, dalam putusannya majelis hakim juga sudah mempertimbangkan berbagai hal, utamanya fakta-fakta dalam persidangan.
Termasuk pertimbangan meringankan berdasar permohonan terdakwa, serta pertimbangan memberatkan sebagaimana dakwaan dan tuntutan jaksa, semua dirasa telah dipertimbangkan oleh hakim.
"Terkait permohonan sebagai justice kolaborator yang tidak dikabulkan, saya rasa juga benar. Dalam hal ini terdakwa merupakan pelaku utama, yang dalam ketentuan memang tidak bisa menjadi justice kolaborator," tandasnya.
Di sisi lain, kuasa hukum terdakwa Martin Hamonangan menyebut ada beberapa fakta persidangan yang belum dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan vonis kepada kliennya.
"Salah satunya, Kedung Kandang itu bukan dari klien kami, tapi ada pihak lain yang menghubungi. Dalam hal ini klien kami pasif," ujar Martin.
Demikian halnya tentang permohonan justice kolaborator yang ditolak hakim, pihaknya juga merasa heran. Karena selama ini disebut terdakwa sudah mengakui perbuatannya dan membantu dalam pengungkapan perkara.
"Apakah menerima atau banding, kami perlu membahasnya lebih detail dengan terdakwa. Waktu tujuh hari ini akan kami manfaatkan untuk memutuskannya," sambung dia.
Arief Wicaksono duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Surabaya karena dianggap terlibat kasus korupsi dengan menerima suap Rp 700 juta dari Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pengawasan (PUPPB) Kota Malang Jarot Edy Sulistiyo untuk melancarkan P-APBD Kota Malang tahun 2015.
Beberapa waktu lalu, Jarot Edy Sulistiyo sudah divonis hukuman penjara selama 2 tahun 8 bulan plus denda Rp 100 juta subsider tiga bulan penjara. Vonis dibacakan majelis hakim yang sama, di ruang sidang yang sama pula. (cat/ian)