Hak Belajar Anak Difabel di Pacitan Masih Terabaikan

Hak Belajar Anak Difabel di Pacitan Masih Terabaikan Ilustrasi

PACITAN, BANGSAONLINE.com - Hak mendapat pendidikan yang layak merupakan tanggung jawab negara. Akan tetapi, persoalan tersebut sepertinya belum sepenuhnya bisa diimplementasikan. Pasalnya, selama ini ditengarai masih banyak anak usia sekolah yang belum bisa menerima pendidikan sebagaimana diharapkan. Terutama bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).

Belakangan, sepertinya masih banyak anak penyandang difabel yang tidak bisa mendapatkan pendidikan sebagaimana diharapkan. Termasuk di Pacitan, porsi jam belajar-mengajar bagi ABK sampai dengan saat ini masih belum tersajikan secara baik. Padahal program Kabupaten Peduli Inklusi sudah dicanangkan sejak tahun 2014 lalu. Namun demikian, penerapannya di lapangan belum sepenuhnya berjalan.

Program pengadaan kelas untuk semua jenjang pendidikan mulai PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA belum terpenuhi. Saat ini hanya ada dua lembaga pendidikan untuk ABK di Pacitan. Yaitu di Desa Sumberharjo dan Punung. Itu pun tidak semua ABK bisa masuk. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat seolah bungkam saat dikonfirmasi terkait pengadaan pendidikan ABK.

Masing-masing bidang di instansi yang mengelola anggaran negara itu sepertinya kurang memahami atas progam pendidikan untuk ABK tersebut. Sebab, saat ditemui oleh media, mereka tidak bisa menjawab dan melempar dari satu bidang ke bidang lain.

"Itu bagian program Mas, bukan wewenang saya," kata Mujiharto, kasie pendidikan dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pacitan .

Sementara itu Kabid PAUD dan PNF, Wulan sempat menjelaskan terkait ABK usia dini. Menurutnya, selama ini Dinas Pendidikan sudah melakukan pelayanan ABK untuk usia dini. "Ini dalam proses. Terkait data, kami kumpulkan. Sebab, persoalan di lapangan banyak orang tua yang malu mempunyai anak yang masuk kategori berkebutuhan khusus," jelasnya pada pewarta.

Hak mendapatkan pendidikan yang layak bagi ABK seolah masih merupakan PR rumit. Terutama di Pacitan, karena alasan klasik. Yaitu kurangnya tenaga pendidik khusus serta sarana dan prasarana yang belum memadai. Sejak tahun 2014 hingga saat ini, tidak ada pergerakan program yang signifikan terkait kabupaten inklusi.

"Rumah saya di Pringkuku. Saya sendiri tuna netra. Tiap hari harus antar anak saya yang juga tuna netra untuk sekolah ke SLB Sumberharjo. Kalau naik kendaraan umum repot karena biaya transportasi banyak," ungkap Sugianto, warga Pringkuku.

Perlu diketahui, di Pacitan terdata ada 646 anak usia sekolah yang berkebutuhan khusus. Separug di antaranya masih belum bisa menerima hak pendidikan yang dinilai layak serta memadai. (pct1/yun/rd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO