
SURABAYA,BANGSAONLINE.com - Keluarga korban dugaan malapraktik, Raden Bagas Priyo (28) yang meninggal di RSI Siti Hajar Sidoarjo pada Oktober 2024 masih berupaya mencari keadilan.
Orang tua korban beserta kuasa hukum menggelar konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nurani yang beralamat di Jl. Gayungsari Barat Nomor 98.
Pihak orang tua Anju Vijayanti (50) warga Bumi Suko Indah, Sidoarjo, didampingi kuasa hukum Muhammad Nailul Amani dari LBH Damar Indonesia mendesak Polresta Sidoarjo menegakkan keadilan bagi keluarga korban.
Nailul Amani beserta ibu korban menyatakan kecewa atas sikap pihak Polresta Sidoarjo tentang penanganan kasus yang terkesan berat sebelah dan tidak transparan.
“Jadi dari jumpa pers ini piha ibu korban (pasien Raden Bagas Priyo), belum ada titik kejelasan dari perkara malapraktik Rumah Sakit itu padahal sudah berjalan hampir 1 tahun,” ujar Nailul Amani, di kantor LBH Nurani pada Selasa (29/7/2025).
Ibu korban pun kemudian menceritakan kronologi meninggalnya sang putra pada 21 September 2024 saat menjalani operasi amandel. Hasil tes menunjukkan, pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
Kemudian satu hari sebelum menjalankan operasi tertanggal 20 September 2024, pasien menjalani rawat inap.
Pagi pukul 08.00 wib tanggal 21 September 2024, beberapa jam sebelum operasi pasien disodori makanan.
“Sempat kami mengalami kecurigaan yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit. Sepengetahuan saya sebelum operasi biasanya kan suruh puasa, atau diperbolehkan meminum air putih. Nah ini kan aneh kok malah disuruh makan. Bukan hanya itu anak saya (almarhum) ini kondisi remaja darahnya tinggi 180/200 tapi kok pihak Rumah Sakit nekat melakukan operasi,” ujar Anju Vijayanti.
Hari yang sama tindakan Operasi dilakukan pukul 12.00 WIB. Dua jam kemudian, sekitar pukul 14.15 WIB, keluarga diminta mengambil obat, tanda bahwa operasi telah selesai.
Namun, tidak lama setelah itu, pihak rumah sakit mengabarkan bahwa pasien mengalami serangan jantung (Aritmia) dan dinyatakan meninggal.
“Kami terkejut. Bhagas tidak punya riwayat jantung dan dia bukan perokok,” kata ibu korban, Anju Vijayanti.
Ia mempertanyakan penjelasan dokter anestesi yang menyebut adanya penyumbatan di paru-paru serta tekanan darah tinggi hingga 180/200.
Ibu korban juga mempertanyakan prosedur rumah sakit. Ia mengaku tak pernah diminta menandatangani surat persetujuan tindakan medis.
“Jadi pihak rumah sakit memberikan keterangan bahwa penanda tangan tindakan medis telah ditanda tangani oleh pasien sebelum dilakukan operasi. Waktu saya tanya, pihak rumah sakit malah enggan menunjukkan dokumennya,” tambah Anju Vijayanti.
Karena ada dugaan keras adanya tindakan malapraktik Anju Vijayanti bersama LBH Nurani melaporkan kasus ini ke Polresta Sidoarjo pada 2 Oktober 2024. Laporan itu telah diterima SPKT dan teregister dengan nomor LP-B/532/X/2024/SPKT/POLRESTA SIDOARJO/POLDA JATIM tertanggal 2 Oktober 2024.
Berjalanya kasus tersebut, ternyata pihak keluarga pasien masih belum menemui kejelasan akan kasus yang dilaporkan.
Kuasa hukum, Nailul Amani, juga memberikan keterangan informasi tambahan hasil yang diperiksa oleh Polresta Sidoarjo.
“Jadi kami aktif mempertanyakan perkembangan tentang kasus malapraktik ini, dan kami mempertanyakan secara berdasar, namun pihak Polresta Sidoarjo melakukan pengancaman kasus nya akan di SP3 alias dihentikan karena tidak ada bukti. Ini aneh karena selama ini pihak Satreskrim Polresta Sidoarjo tidak pernah meminta bukti ke kami selaku pelapor dan penuntut,” ujar dia.
Pendapat tentang aksi dugaan malapraktik juga ditanggapi oleh pakar Hukum Pidana, Prof. Solehuddin dari Universitas Bhayangkara (UBHARA) Surabaya.
Menurutnya, bila ada terbukti malapraktik, pihak yang harus bertanggung jawab adalah dokter bedah dan dokter anestesi. (rus/van)