Kini Menentang Apartheid dan Genosida Rakyat Palestina, Sikap Dewan Gereja Dunia Berubah Drastis

Kini Menentang Apartheid dan Genosida Rakyat Palestina, Sikap Dewan Gereja Dunia Berubah Drastis Sidang pendirian Dewan Gereja-Gereja se-Dunia pada 1948. Foto: PGI.or.id

JOHANNSEBURG, BANGSAONLINE.com – Peta politik Timur Tengah berubah drastis, terutama konflik Paletina dan Israel. Setidakanya perubahan itu bisa dicermati dalam sikap Komite Sentral Dewan Gereja Dunia (Central Committee of the World Council of Churches (WCC) dalam memandang kondisi kemanusiaan di Gaza.

Dalam pernyataannya terbaru WCC menunjukkan perubahan sikap yang tegas di dalam organisasi tersebut.

Dilansir dari situs resmi Oikoumene, sikap itu mereka tuangkan dalam sebuah dokumen usai pertemuan yang digelar pada 18-24 Juni di Johannesburg, Afrika Selatan.

Dilansir Tempo, Dewan Gereja Sedunia (WCC) adalah organisasi perhimpunan antargereja yang memiliki tujuan membentuk kesatuan di antara umat Kristen di seluruh dunia. Organisasi ini merupakan bagian dari gerakan ekumenis yang mengajak gereja-gereja dari berbagai denominasi untuk bekerja sama dalam hal sosial, spiritual, dan misi bersama.

Dalam pernyataan itu WCC secara tegas menyingkap realitas apartheid di Israel, serta menuntut diakhirinya pendudukan Israel dan pencabutan blokade ilegal di Gaza.Apartheid adalah sistem pemisahan dan diskriminasi rasial seperti yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.

WCC juga menyerukan negara-negara dan gereja-gereja untuk memberlakukan konsekuensi atas pelanggaran hukum internasional, termasuk sanksi yang ditargetkan, divestasi, dan embargo senjata.

Menurut laporan Mondoweiss, pernyataan tersebut menandai perubahan tajam dalam tanggapan WCC terhadap krisis yang telah dialami warga Palestina selama beberapa dekade.

WCC daam situs resminya juga menggambarkan pekerjaannya sebagai “menginspirasi persekutuan gereja di seluruh dunia untuk bekerja sama demi persatuan, keadilan, dan perdamaian.”

Warga Palestina dan sekutunya berpendapat bahwa sebelumnya, dalam hal penderitaan di Palestina, WCC secara konsisten memilih untuk menempuh jalan persatuan daripada keadilan. Bukan hanya WCC, banyak gereja dan organisasi ekumenis di seluruh dunia telah bersikap hati-hati dalam menyikapi “isu” ini—baik untuk menjaga “perdamaian” di jemaat mereka maupun untuk menghindari menyinggung rekan-rekan Yahudi mereka dan mengambil risiko dituduh antisemitisme.

Perubahan di WCC sebagian besar dipengaruhi Kairos Palestine (KP), gerakan Kristen nonkekerasan ekumenis terluas di Palestina, dan mitranya, Global Kairos for Justice, sebuah koalisi sekutu internasional. Mereka bersama dengan para pemimpin Kristen lainnya mengadvokasi WCC selama bertahun-tahun untuk mengeluarkan pengakuan yang jelas dan jujur tentang akar dan realitas penderitaan warga Palestina dan seruan untuk keadilan.

Dalam siaran pers Kairos Palestine, mereka menyambut pernyataan WcCo dengan penghargaan dan harapan. Mereka menilai tindakan WCC itu "menandai titik balik dalam kesaksian moral dan teologis gereja global".

“Kami memuji WCC karena menyatakan, dengan jelas dan berani, bahwa istilah ‘apartheid’ tepat dan bersifat profetik dalam menggambarkan situasi yang dihadapi rakyat Palestina," kata Kairos Palestine dalam pernyataan tertulis.

"Langkah ini mengakui kenyataan yang telah dialami warga Palestina selama lebih dari tujuh dekade: penindasan sistematis, pemindahan paksa, segregasi, dan penyangkalan hak asasi manusia yang mendasar.”

Koordinator Umum Kairos Palestine, Rifat Kassis, menegaskan bahwa gereja harus berbicara dengan satu suara dalam menentang pendudukan, apartheid, dan genosida. "Apa pun yang kurang dari itu adalah keterlibatan, dan diam sekarang adalah pengkhianatan terhadap keadilan dan iman," ujarnya.

Kassis menilai bahwa momen ini menghadirkan peluang penting bagi lebih banyak denominasi untuk berdiri dalam solidaritas yang berani dengan rakyat Palestina.

Kassis menyerukan kampanye yang dipimpin oleh WCC untuk mengakhiri perang di Gaza dan Tepi Barat. Dia juga mendukung pekerjaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ) dalam meminta pertanggungjawaban para pelaku di bawah hukum internasional.

“Waktunya telah tiba untuk kejelasan moral,” ucap Kassis. “Gereja harus berbicara dengan satu suara dalam menentang pendudukan, apartheid, dan genosida. Apa pun yang kurang dari itu adalah keterlibatan, dan diam sekarang adalah pengkhianatan terhadap keadilan dan iman.”

Berkenaan dengan itu, Patriark Latin Emeritus Yerusalem sekaligus salah satu penulis Dokumen Kairos Palestina dan anggota dewan Kairos Palestina, Michel Sabbah, berterima kasih kepada WCC atas keberanian mereka untuk melihat kebenaran tentang apa yang sedang terjadi di Palestina.

WCC bertemu dalam sesi pleno setiap tujuh tahun. Selama masa intervensi, Komite Sentral (CC) diberi wewenang untuk berbicara atas nama 352 gereja anggota, yang bersama-sama mewakili lebih dari setengah miliar umat Kristen di seluruh dunia.

Sumber: Tempo