
NEW YORK, BANGSAONLINE.com – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendapat kecaman luas dari para penganut agama Katolik. Mereka marah gara-gara Trump bercanda memposting gambar buatan Artificial Intelligence (AI) mengenakan jubah putih, tiara kepausan (mahkota), kalung salib, dan atribut kepausan lainnya.
Apalagi penganut Katolik dalam suasana berkabung atas wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025.
Gambar Trump ala Paus itu diupload di akun Instagram resminya @realdonaldtrump. Gambar buatan atau editan itu juga disebar ulang oleh akun resmi Gedung Putih di X (dulu Twitter). Candaan Trump itu langsung menuai kecaman luas karena dianggap menyinggung perasaan para penganut Katolik. Mereka panas dan marah.
Bahkan Konferensi Katolik Negara Bagian New York, yang mewakili para uskup di negara bagian tersebut, secara tegas mengecam tindakan Trump.
“Tidak ada yang lucu atau cerdas dari gambar ini, Tuan Presiden,” tegas pernyataan resmi mereka seperti lansir Kontan.
“Kami baru saja menguburkan Paus Fransiskus yang kami cintai, dan para kardinal sedang bersiap memasuki konklaf suci untuk memilih penerus Santo Petrus. Jangan menghina kami,” tambah pernyataan tersebut.
Di Italia, negara yang sangat menghormati institusi Kepausan bahkan di kalangan non-agamis, tanggapan lebih keras muncul. Surat kabar La Repubblica menampilkan gambar tersebut di halaman depan dan menyebut tindakan Trump sebagai manifestasi dari “megalomania patologis.”
Mantan Perdana Menteri Italia yang berhaluan kiri, Matteo Renzi, menulis di akun X: “Gambar ini menghina umat beriman, melecehkan institusi, dan memperlihatkan bagaimana pemimpin dunia kanan menjadikan segalanya bahan lawakan.”
Meski demikian Vatikan bungkam alias tak mengeluarkan suara terhadap ulah Trump itu. Vatikano, melalui juru bicara Matteo Bruni, menolak memberikan komentar.
Namun dalam briefing harian mengenai konklaf, beberapa jurnalis mengangkat isu ini secara serius, mempertanyakan kesopanan dan etika tindakan Trump.
Sementara Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt mengklaim bahwa: “Presiden Trump terbang ke Italia untuk memberikan penghormatan kepada Paus Fransiskus dan menghadiri pemakamannya, dan ia merupakan pembela kuat kebebasan beragama.”
Gambar Trump itu terkait dengan pernyataan sebelumnya. Saat itu, Trump melontarkan komentar bercanda bahwa dirinya ingin menjadi Paus.
“Saya ingin menjadi Paus. Itu pilihan nomor satu saya,” katanya kepada wartawan. Komentar ini kemudian disambut dengan dukungan bercanda dari para sekutunya: Senator Lindsey Graham: Menyebut Trump sebagai "kandidat kuda hitam" untuk Kepausan dan meminta umat Katolik untuk “membuka pikiran.”
Jack Posobiec, tokoh sayap kanan dan sekutu Trump, menepis kritik: “Kami semua sudah membuat lelucon tentang pemilihan Paus minggu ini. Namanya juga selera humor.”
Trump juga sempat memuji Kardinal Timothy Dolan dari New York sebagai calon potensial Paus. Namun dalam tradisi Gereja, dukungan terang-terangan dari kekuatan politik sekuler justru bisa menjadi bumerang.
Pepatah lama di Vatikan mengatakan: “Siapa yang masuk konklaf sebagai Paus, akan keluar sebagai Kardinal.” Kardinal Dolan sendiri merupakan satu dari 10 kardinal asal AS yang memiliki hak suara dalam konklaf yang akan dimulai Rabu ini.
Selama masa kepemimpinannya, Trump dan rekan-rekannya, seperti JD Vance, sering berbenturan dengan Gereja Katolik—khususnya Paus Fransiskus—mengenai isu imigrasi.
Beberapa minggu sebelum wafat, Fransiskus secara tegas mengecam rencana deportasi massal yang dirancang oleh administrasi Trump.
Selama lebih dari satu dekade kepemimpinannya, Paus Fransiskus telah berupaya mengubah wajah hierarki Gereja Katolik AS dengan memprioritaskan isu-isu sosial dan migrasi.
Pemilihan Paus yang lebih konservatif berpotensi membalikkan arah tersebut. Trump telah mengajukan Brian Burch, tokoh konservatif dari CatholicVote.org, sebagai Duta Besar AS untuk Takhta Suci.
Organisasi tersebut gencar mempublikasikan laporan seputar konklaf dan menjadi penyebar utama isu—yang telah dibantah Vatikan—tentang dugaan masalah kesehatan Kardinal Pietro Parolin, kandidat kuat pengganti Fransiskus.
Parolin dikenal sebagai arsitek utama kebijakan Vatikan terhadap Tiongkok, termasuk perjanjian 2018 yang membagi otoritas pengangkatan uskup antara Beijing dan Vatikan—kebijakan yang ditentang keras oleh Trump pada masa jabatannya.