Kereta Cepat dan Beban Berat PT KAI

Kereta Cepat dan Beban Berat PT KAI Dahlan Iskan

Pun masa depan yang lebih panjang. Akan tetap di jalur baru itu. Yakni bagaimana Jakarta-Bandung bisa memanjang sampai Yogyakarta dan Surabaya. Bagaimana kereta bawah tanah bisa menjadi solusi kemacetan Jakarta. Lalu kota-kota besar lain ikut mengembangkannya: Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, Denpasar.

Di Amerika kereta antar kotanya praktis mati. Tapi Amerika tetap memerlukan kereta bawah tanah di perkotaan. Yakni di kota-kota besarnya.

Di sana seperti tidak ada lagi semangat mengembangkan kereta antar-kota. Yang sering muncul hanya berita tabrakan. Atau kereta anjlok dari rel peninggalan lamanya.

Jaringan kereta bawah tanah di Tiongkok luar biasa meluasnya. Di Shanghai saja sudah menjadi 19 line. Total panjangnya sudah 800 km. Jaringan kereta bawah tanah di Shanghai sudah seperti kota besar tersendiri di bawah tanah.

Di Tiongkok sudah lebih 20 kota yang punya jaringan kereta bawah tanah.

Itulah masa depan KAI. Perusahaan ini akan menjadi raksasa bisnis di tingkat dunia.

Sekarang saja, dengan penambahan sekaligus dua bisnis baru membengkaknya ukuran bisnis KAI.

Memang dua bisnis baru tersebut masih belum datang dari KAI sendiri. Bukan sebagai ekspansi bisnis. Dua-duanya masih penugasan dari pemerintah. Mungkin KAI sendiri, secara perusahaan justru bisa saja merasa terbebani. Apalagi kalau semua biaya proyek harus ditanggung KAI. Itu belum dalam kemampuan KAI bisa menanggungnya.

Kini begitu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan KAI: bagaimana status biaya proyek itu dalam neraca KAI. Lalu, harus menentukan siapa pemilik relnya: pemerintah (seperti disebutkan dalam UU) atau milik KAI.

Kalau rel itu milik pemerintah, siapa yang harus merawat: pemilik atau pengguna. Bolehkah pengguna memelihara barang yang bukan miliknya: jangan sampai ada yang jadi tersangka karena melanggar prosedur.

Kalau yang memelihara harus yang punya barang, apakah ada anggaran yang cukup di APBN.

Rasanya kerumitan abadi ini perlu dituntaskan. Mumpung pemerintah sekarang sangat berani menerobos yang begitu-begitu.

Atau mungkin saja pakai cara ini: pemerintah memberikan izin ''pinjam pakai'' kepada KAI. Misalnya untuk jangka 25 tahun. Bisa diperpanjang. Toh yang dipinjami adalah perusahaan miliknya sendiri.

Dengan demikian pemeliharaan bisa diserahkan kepada si pemakai. Tidak perlulah ada yang merasa ''kehilangan'' proyek pemeliharaan.

Dalam kontrak ''pinjam pakai'' juga bisa disebutkan: kelak, ketika dikembalikan harus dalam keadaan terpelihara. Bahkan bisa lebih baik.

Ide ''rel harus milik pemerintah'' adalah demi keterbukaan kesempatan usaha. Demokratisasi usaha. Maksudnya: agar ada perusahaan kereta api swasta yang bisa bersaing dengan KAI. Agar jangan ada monopoli.

Swasta dan KAI bisa sama-sama menyewa rel milik negara. Seperti Lion, Pelita, Garuda, Sriwijaya menggunakan bandara yang bukan milik mereka.

Tapi untuk kereta api, rasanya kita harus realistis. Sampai 25 tahun ke depan rasanya masih sulit ada swasta mendirikan perusahaan kereta api.

Tapi siapa tahu kelak akan ada. Maka ''pinjam pakai'' selama 25 tahun bisa jadi jalan keluar. Setidaknya APBN tidak perlu mengalokasikan anggaran pemeliharaan. Toh kalau anggaran pemeliharaan itu tidak cukup keamanan penumpang dalam taruhan.

Bisa juga 'pinjam pakai' itu dengan syarat tambahan lagi: Si peminjam harus melakukan pengelasan sambungan rel. Dengan demikian maka kereta api dari Jakarta ke Surabaya bisa menambah kecepatan menjadi 160 km/jam. Artinya yang selama ini 8,5 jam bisa menjadi 6 jam.

Bulan ini kereta api Indonesia telah memasuki dunia baru. Sayang kalau masih diganggu oleh hantu lama. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO