Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Setelah dua belas tahun Rasululllah SAW berparah-parah mendakwahkan islam, memang pengikut makin bertambah, tetapi kondisi umat islam tidaklah makin membaik, melainkan makin terhimpit dan dijahati. Belum reda kebrutalan mereka, paman Abu Thalib yang sehari-hari sebagai pelindung dipanggil menghadap Tuhan.
Abu Thalib adalah bangsawan kelas atas yang sangat disegani, sehingga tak seorang kafir pun yang berani menyentuh nabi. Hatinya membenarkan ajaran nabi, keponakannya, tapi gengsinya membuat dirinya angkuh dan tidak mau kehilangan "muka" di hadapan para bangsawan lainnya. Begitulah, "kecongkakan seseorang datang bukan saja karena dirinya, tetapi sering karena jubahnya".
Abu Thalib lah yang memediasi tawaran negosiasi antara para kafir dengan Rasulullah SAW pada tengah periode Makkah. Tokoh kafir mulai membaca dan mengkhawatirkan perkembangan islam. Lalu diajukan tawaran, apa maunya si Muhammad yang Rasul itu. Mau tahta? akan dijadikan tokoh sentral seantero Makkah. Mau harta? akan diberi kekayaan berlimpah. Atau mau wanita? akan disediakan cewek-cewek tercantik berapa saja. Dengan tegas nabi menolak dan siap mati demi agama.
Belum lagi sirna kesedihan akibat sang paman wafat, istri tercintanya, Khadijah bint Khuwailid menyusul mengahadap Yang Kuasa. Khadijah adalah pengusaha wanita yang sangat kaya raya, tapi seluruh hartanya diperuntukkan jihad membela agama, untuk dakwah suaminya, menyantuni para fakir dan miskin, anak yatim, para janda dan pengangguran. Bahkan banyak terkuras untuk membeli budak muslim yang sedang dimiliki majikan kafir, lalu dimerdekakan.
Tahun itu benar-benar tahun suram dan kelabu bagi Nabi, benar-benar tahun dirundung duka dan nestapa. Betapa tidak, karena Nabi kehilangan sosok pelindung yang sangat hebat. Abu Thalib melindungi Nabi dari sisi sekuriti dan Khadijah menyervis nabi dari sisi materi. Banarlah sejarah menjuduli tahun tersebut sebagai "'Am al-Huzn", tahun sedih.
Melihat kesendirian Nabi tanpa dekengan handal, para tokoh kafir memanfaatkan situasi itu dan berulah makin biadab. Saat kritis itulah, Allah SWT hadir memberi semangat dengan memanggil Rasul-Nya beraudisi langsung ke Arsy singgasana-Nya, ke Sidratil Muntaha, melaluli transportasi bumi (al-isra') lebih dahulu. Lalu terbang menembus ruang angkasa (al-Mi'raj).
Di sana, Rasulullah SAW menghadap dan berhadap-hadapan dengan Allah SWT dalam jarak dekat dan sangat dekat, seukuran dua gandewa, busur panah. Hanya dekat, tanpa bisa melihat Dzat yang maha kuasa itu. Terkait perjalanan sejarah dakwah Nabi, peristiwa al-Isra' dan al-Mi'raj ini punya makna, antara lain: