
Oleh : I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom
Setiap hari kita digempur berbagai macam informasi. Timeline media sosial bergerak begitu cepat, berita daring pun ikut bersaing untuk siapa yang paling dulu menayangkan, sementara masyarakat kebingungan memilah mana yang fakta, mana yang manipulasi.
Namun begitu derasnya informasi, komunikasi publik bukan lagi sekadar soal menyampaikan pesan. Tetapi melakukan komunikasi artinya juga menjaga kepercayaan, merawat logika publik, dan membangun empati.
Fenomena terkini yang patut disorot adalah kebenaran tidak lagi ditentukan oleh data, melainkan oleh siapa yang paling lantang, paling viral, dan paling emosional. Hoaks, disinformasi, bahkan manipulasi citra mampu mengaburkan realitas. Dalam konteks inilah, peran humas pemerintah maupun korporasi menjadi semakin strategis.
Sayangnya, masih ada yang menganggap humas sebatas tukang publikasi yang membuat rilis, mendokumentasikan kegiatan, mengunggah konten, atau menyiapkan spanduk. Padahal fungsi humas hari ini sudah bergeser menjadi penjaga kepercayaan (guardian of trust). Humas dituntut memastikan bahwa setiap pesan yang keluar bukan hanya informatif, tetapi juga akurat, mengedepankan empati, dan relevan dengan kebutuhan publik.
Sebagai contoh, ketika harga pangan melonjak atau terjadi polemik kebijakan publik, yang dibutuhkan masyarakat bukan sekadar angka dan data kering. Mereka ingin penjelasan yang jernih, mudah dipahami, dan memberikan solusi kepastian untuk mereka.
Humas harus mampu menerjemahkan bahasa teknokratis atau teknis menjadi bahasa manusiawi yang menenangkan, bukan menambah kebingungan. Bahasa yang digunakan harus bisa “membumi” yang dapat dipahami oleh berbagai elemen masyarakat.
Bahkan dalam komunikasi krisis, kecepatan menjadi faktor penentu. Namun, kecepatan tanpa akurasi bisa berbalik menjadi bumerang. Di era digital, satu kesalahan narasi bisa menyebar secepat kilat dan menimbulkan krisis berlapis. Karena itu, strategi komunikasi humas harus selalu mengedepankan speed with accuracy. Cepat dan tepat menjadi kuncinya humas saat ini.
Selain itu, humas juga memikul tanggung jawab jangka panjang yaitu membangun literasi publik. Literasi inilah yang menjadi benteng masyarakat dam menghadapi gempuran informasi palsu, hoaks. Kampanye edukatif yang konsisten, narasi reflektif yang menekankan empati, serta transparansi kebijakan akan membantu masyarakat tidak mudah terombang-ambing oleh isu viral yang menyesatkan.
Era Kolaborasi dan Partisipasi
Isu komunikasi terkini juga menunjukkan bahwa humas tidak bisa bekerja sendirian. Di era digital, otoritas komunikasi tidak lagi monopoli pemerintah atau perusahaan. Warganet, influencer, hingga komunitas lokal kini menjadi stakeholders penting yang ikut membentuk persepsi publik.
Karena itu, strategi komunikasi hari ini menggunakan pendekatan partisipatif. Artinya Humas perlu merangkul komunitas, mendengar suara akar rumput, sekaligus membangun jejaring dengan berbagai stakeholder. Salah satunya dengan ikut melibatkan para content creator yang memiliki kredibilitas di ruang digital, tokoh masyarakat yang menjadi kunci dalam suatu lingkungan, dan sebagainya. Kolaborasi dan sinergi inilah mampu menjadi kunci agar pesan tidak berhenti pada monolog, melainkan berkembang menjadi dialog yang sehat.
Humanizing the Government
Dalam konteks pemerintahan, pendekatan komunikasi yang berempati adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat tidak ingin hanya mendengar jargon keberhasilan atau berbagai prestasi, mereka ingin merasakan kehadiran pemerintah di tengah problem nyata.
Dari sinilah lahir konsep humanizing the government yaitu dimana Humas dituntut untuk bisa menghadirkan wajah pemerintah yang hangat, mendengar, dan hadir secara nyata di lapangan.
Sebagai contoh, ketika pejabat publik turun langsung ke pasar untuk memastikan sebuah permasalahan atau kondisi tertentu, lalu menyampaikan penjelasan dengan lugas dan sederhana, itu bukan sekadar liputan seremonial. Itu adalah bentuk komunikasi empati yang menghubungkan hati masyarakat dengan kebijakan publik.
Kehumasan hari ini tidak cukup berhenti pada narasi. Yang dibutuhkan adalah aksi nyata yang mendukung narasi itu sendiri. Komunikasi akan kehilangan daya jika tidak ditopang oleh kebijakan yang konkret dan keberpihakan yang jelas.
Di era krisis narasi, humas tidak boleh terjebak pada lip service. Humas harus menjadi storyteller yang otentik, penghubung atau penjembatan yang jujur, dan fasilitator yang membuka ruang partisipasi publik. Inilah tantangan sekaligus peluang bagi para praktisi komunikasi yaitu dapat menjaga agar narasi publik tidak hanyut dalam bias emosi, tetapi tetap berpijak pada data, empati, dan harapan.
Penulis adalah Pranata Humas Ahli Muda Biro Adminsitrasi Pimpinan Setdaprov Jatim