
Bicara Ponpes Canga'an, di sinilah ensiklopedia NU. Di dinding-dinding dan halamannya terukir kisah perjalanan panjang Indonesia, kisah para pejuang kemerdekaan, dan kisah para ulama yang telah membentuk karakter bangsa. Setiap sudutnya menyimpan kenangan dan menjadi saksi bisu perjalanan panjang para santri yang telah mengabdi untuk negeri.
Konon, tongkat Syaikhona Kholil yang diserahkan ke KH. Hasyim Asy'ari melalui KH. As'ad Syamsul Arifin berasal dari kayu pohon sawo di area Pesantren Canga'an.
Penyerahan tongkat dan tasbih itu adalah bentuk restu Syaikhona Kholil kepada KH. Hasyim Asy'ari untuk memimpin Nahdlatul Ulama.
"Sampai saat ini, pohon sawo itu masih berdiri kokoh. Belum lama saya kepras batang yang menjorok ke atap masjid," tutur Kiai Ridlo'i.
Saat ini, Pesantren Canga'an bersaing dengan globalisasi zaman. Dari jumlah santri yang mondok memang tidak banyak. Tapi, masyarakat sekitar yang mengaji di pondok ini masih cukup banyak.
Semangat para pengasuh pondok ini mempertahankan keberlanjutan pendidikan patut diapresiasi. Dari pondok ini pun muncul intelektual muda Islam, di antaranya KH. Hasyim Asy'ari (Gus Ayik), KH. Achmad Kholili Kholil (Gus Kholili). Keduanya juga pengasuh pondok ini.
Tokoh-tokoh lain yang pernah nyantri di Canga'an di antaranya politikus PKB, Sudiono Fauzan atau Mas Dion. Almarhum KH. Masykur Hasyim, ayah dari Senator Jatim, Lia Istifhama juga pernah menimba ilmu di sini.
Gus Kholili yang saat ini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Canga'an dikenal sebagai intelektual muda. Meski muda, keilmuannya sangat mumpuni.
Ia adalah anak muda yang mendapat tempat di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, khususnya Lembaga Batsul Massail (LBM) PBNU.
"Merawat Pesantren Canga’an berarti merawat sejarah, bukan hanya sejarah keilmuan, tetapi juga sejarah bangsa," tutur Gus Kholili. (mdr/rev)