Aguk Irawan MN. Foto: ist
Oleh: Aguk Irawan MN
Di Denanyar, waktu seolah melambat, namun tak pernah benar-benar berhenti. Kemarin, 20 Desember 2025, ketika ribuan wajah tertunduk dalam khidmat, kita bukan sekadar merayakan angka—Harlah ke-111 pesantren dan Haul ke-47 sang pendiri—melainkan menjemput kembali sebuah bayang-bayang besar yang tak pernah pudar: KH. M. Bisri Syansuri.
Mbah Bisri adalah sebuah paradoks yang indah dalam sejarah kita. Di satu sisi, ia adalah puritanisme yang kukuh; seorang penjaga gawang fikih yang tak kenal kompromi. Namun di sisi lain, ia adalah samudra kasih bagi mereka yang terpinggirkan. Dalam dirinya, hukum Tuhan tidak tegak sebagai pedang yang melukai, melainkan sebagai payung yang melindungi.
Kita ingat bagaimana ia berdiri di garda depan saat NU didirikan. Baginya, berorganisasi bukanlah soal berebut kursi di panggung politik, melainkan sebuah ikhtiar menjaga kewarasan umat. Saat mengemban amanah sebagai Rais Aam, ia memimpin dengan teladan yang sunyi. Ia tak banyak bicara tentang keadilan; ia melakukannya.
Lihatlah keberpihakannya pada kaum perempuan. Di masa ketika pendidikan bagi perempuan masih dianggap tabu, Mbah Bisri mendirikan kelas khusus untuk santri putri di Denanyar. Ini adalah sebuah "revolusi sunyi". Ia tidak berteriak tentang emansipasi di mimbar-mimbar kota, tapi ia membukakan pintu ilmu bagi ribuan perempuan desa agar mereka tak lagi jadi obyek sejarah yang bisu.
Sejarah juga mencatat Mbah Bisri sebagai batu karang di tengah arus. Ia adalah sosok yang tak gentar menghadapi penjajah, namun juga tak silau oleh kilap kekuasaan setelah kemerdekaan. Ketika bayang-bayang ideologi yang meniadakan Tuhan (PKI) mencoba merangsek masuk ke sendi-sendi bangsa, Mbah Bisri berdiri dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Bukan dengan kebencian yang meledak-ledak, melainkan dengan keteguhan prinsip yang bersumber dari kedalaman kitab suci.
Di parlemen, ia adalah singa yang santun. Saat memperjuangkan UU Perkawinan yang sesuai dengan syariat, ia menunjukkan bahwa politik bagi seorang santri adalah perpanjangan dari meja _dars_ dan _ta'lim_ di pesantren. Ia tidak mencari kemenangan pribadi, tapi mencari kemaslahatan bagi umat yang miskin dan lemah.
Ada sebuah cerita yang sering berulang: tentang bagaimana ia sangat hati-hati dan teliti dalam hal harta. Baginya, harta negara atau harta umat adalah api. Jika sampai memakan sesuap saja yang bukan haknya ia akan membakar jiwa. Di zaman ketika uang negara kerap dianggap rezeki nomer wahid, Mbah Bisri justru memilih untuk mengabaikannya, seolah-olah lembaran rupiah yang berbau birokrasi itu adalah ilusi yang tak layak dipungut.
Jikapun terpaksa ia menerima gaji dari posisinya sebagai anggota KNIP dan Dewan Konstituante atau DPR, maka gaji itu seluruhnya digunakan untuk kepentingan NU dan pesantren, sementara untuk kebutuhan sehari-harinya hanya dari hasil pertanian. Kesederhanaannya adalah kritik yang tajam bagi kita yang hidup di tahun 2025 ini—zaman di mana kemewahan sering kali dipamerkan tanpa rasa malu di tengah kemiskinan yang masih menganga.
Kemarin, dalam suasana yang lancar dan khidmat di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, kita diingatkan kembali: menjadi pengikut Mbah Bisri berarti berani mengambil jalan yang sulit. Jalan yang mengutamakan hukum di atas selera, dan mengutamakan rakyat kecil di atas kepentingan golongan.
Mbah Bisri telah pergi 47 tahun yang lalu, namun ruhnya tetap berdenyut dalam tiap doa yang dilantunkan para santri. Denanyar, di usianya yang ke-111, bukan sekadar tumpukan bata dan semen. Ia adalah monumen hidup dari sebuah cita-cita: bahwa agama harus menjadi pembela mereka yang papa, dan pesantren harus menjadi benteng terakhir moralitas bangsa.
Kita tidak hanya mengenang seorang kiai; kita sedang bercermin pada sebuah integritas yang utuh. Di tengah dunia yang kian bising dan penuh kepura-puraan, sosok Mbah Bisri Syansuri adalah kompas yang menunjuk pada satu arah yang pasti: pengabdian tanpa tepi kepada Sang Khalik dan kemanusiaan.
Sekali ilagi, keteladanan Mbah Bisri bukanlah kisah tentang pertapaan di puncak gunung, melainkan hikayat tentang "perjalanan" yang, pada dasarnya, seluruhnya adalah pengabdian kepada agama, bangsa dan negara. Selamat ulang tahun, Mamba’ul Ma’arif. Selamat beristirahat dalam cahaya, Mbah Bisri. Al-Fatihah.





