Putusan Isbat Menteri Agama yang Tak Mengikat

Putusan Isbat Menteri Agama yang Tak Mengikat imam ghazali said

Jika ini yang kita lakukan, berarti kaum Muslim Indonesia mampu menghormati otoritas negara yang kita pilih sesuai mekanisme demokrasi yang sehat. Jika kita biarkan seperti yang biasa terjadi dalam sejarah perjalanan ”perisbatan”, maka bangsa ini layak dikatakan sebagai bangsa yang anarkis, tak mau diatur dan membangkang, dengan cara melucuti otoritas negara. Keadaan demikian, sama dengan tidak adanya loyalitas pada negara. Ini berarti; -secara substansial-, negara berada di ambang kehancuran, itu tentu tidak kita inginkan.

Harus diingat bahwa lingkup isbat Pengadilan Agama juga mencakup isbat nikah, nasab dan lain-lain. Jika isbat terakhir ini tidak mengikat, maka negeri ini tidak punya kepastian hukum.

Otoritas Hakim

Selama ini pemegang otoritas negara yang diekspresikan dalam putusan isbat, dipegang oleh Menteri Agama. Ini bisa dibenarkan, karena menjadi atasan Pengadilan Agama (1946-2006).

Para hakim agama yang menyumpah perukyat yang berhasil melihat hilal di lokasi rukyat langsung bersidang dengan menyumpah mereka sesuai hukum acara pengadilan.

Hasilnya, dikirim ke sidang isbat yang dipimpin oleh di Jakarta. Laporan dan penyumpahan hakim tersebut menjadi pertimbangan untuk diterima atau ditolak.

Setelah Pengadilan Agama (PA) diintegrasikan ke Mahkamah Agung (MA) sesuai Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, maka otoritas negara dalam hal isbat seharusnya berada di tangan Ketua MA.

Sebab, dalam sistem ketatanegaraan kita, setelah berlaku efektifnya dua undang-undang tersebut masuk dalam lembaga eksekutif, yang tak punya wewenang putusan isbat. Isbat menjadi otoritas hakim, sebagai lembaga yudikatif.

Karena itu, ke depan harus segera diambil langkah-langkah pengalihan wewenang dan otoritas isbat dari ke Ketua MA. Jika dua UU tersebut masih memberi otoritas isbat pada , maka UU ini harus segera direvisi, sebab –dalam sistem ketatanegaraan modern– tidak bisa berperan ganda; sebagai lembaga eksekutif dan yudikatif sekaligus.

Dengan demikian, keputusan isbat yang dipimpin Ketua MA secara struktural tersambung dengan hakim-hakim agama yang melakukan penyumpahan di lapangan.

Sebagai lembaga yudikatif MA -secara teoritik- akan steril dari kepentingan politik dan aliran keagamaan. Dalam arti keputusannyapun diharapkan murni sebagai putusan hukum.

Pengalihan otoritas ini juga akan bebas dan tidak terikat pada kesepakatan MABIMS tentang ketinggian hilal 2°+ di atas ufuk yang masuk kategori hilal yang dapat dirukyat, tahun 200l.

Dengan demikian, putusan isbat lebih berkualitas dan memenuhi pengertian isbat secara sempurna seperti yang dimaksud dalam kaidah fikih ”Keputusan hakim menghapus perbedaan pendapat.”

Jika substansi gagasan ini dapat disepakati dan semua pihak rela memberikan otoritas ikhbar dan isbat-nya pada keputusan MA, maka penentuan awal Ramadan, Idul Fitri dan penentuan Idul Adha akan dapat diakhiri. Sebab putusan isbat yang dilakukan MA mengikat semua pihak; dan yang tidak taat pada keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai pembangkang.

Demikian itulah yang terjadi di negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah yang sama-sama menganut pola ideologi nation state, seperti Indonesia.

Gagasan ini perlu mendapatkan tanggapan dialogis terutama oleh pemegang otoritas isbat dan ormas yang selalu merasa tidak terikat dengan putusan isbat, seperti Muhammadiyah, Komunitas Annadzir, Tarekat Naqsyabandiyah dan lain-lain. Wallah A’lam.

(Imam Ghazali Said, Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo dan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO