Tersentuh Mayat Dibisniskan, Andreas Gratiskan Pembakaran Mayat, Gubernur Ini pun Sigap

Tersentuh Mayat Dibisniskan, Andreas Gratiskan Pembakaran Mayat, Gubernur Ini pun Sigap Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Mayat korban covid yang perlu dibakar – sesuai keyakinan mereka – terus bertambah. Bahkan menumpuk. Sampai perusahaan jasa pembakaran mayat kewalahan. Celakanya, hukum kapitalis justru dipraktikkan dalam pembakaran mayat itu. Siapa yang punya uang didahulukan.

Andreas Sofiandi pun tersentuh. Ia menawarkan pembakaran mayat secara gratis selama pandemi kepada wali kota Jakarta Barat. Asal ada lahan dan diberi izin. Ia akan membangun . Tempat pembakaran mayat.

Sang Wali Kota pun lapor gubernur. Hebat! Sang gubernur sigap. Tak pakai lama. Hari itu juga langsung setuju. Mereka pun sepakat melihat lokasi pemakaman Kristen di Tegal Alur, Jakarta. Maka hebohlah jagat pembakaran mayat. Baru kali ini gratis.

Siapa sebenarnya Andreas Sofiandi? Silakan simak tulisan Dahlan Iskan, wartawan kondang itu di Disway, HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com.pagi ini, Selasa 27 Juli 2021. Selamat membaca:

KEBUTUHAN yang mati kini sama mendesaknya dengan kebutuhan yang hidup. Mulai dari tempat penyimpanan mayat, peti mati, sampai pemakaman.

Sampai orang seperti Andreas Sofiandi nekat membangun secara afdruk kilat. Seminggu selesai.

Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Jawa Timur ikut mengurus peti mati dan oksigen.

Rumah kematian Adi Jasa Surabaya sampai memerlukan bantuan dua truk cold storage –biasanya untuk angkut ikan dari Papua– untuk menyimpan kelebihan mayat.

Yang paling "Bonek" ya Andreas tadi. Hatinya tersentuh ketika tahu begitu banyak mayat yang antre untuk dikremasi. Lebih tergetar lagi ketika melihat mayat dijadikan lahan bisnis.

Ia langsung berpikir cepat: mengalihkan mesin pembakar mayat yang baru selesai ia dirakit. Untuk dipindah ke Jakarta mengatasi krisis mayat di Jakarta.

Mesin itu awalnya untuk Pekanbaru, Riau. Untuk perluasan di sana. Pekanbaru memang sudah punya dua mesin pembakar mayat. Kalau mesin yang ketiga dialihkan untuk Jakarta akan bisa ikut mengatasi krisis.

Andreas lahir di Padang. Sampai lulus SMP (Santa Maria) masih di Padang. Lalu masuk STM di Jakarta. Jadi orang sukses.

Masyarakat Tionghoa Padang masih menganggap ia orang Padang. Maka Andreas diminta menjadi ketua perkumpulan Tionghoa di sana: Ho Tek Tong.

Nama Ho Tek Tong saya kenal dengan baik. Begitu juga Andreas. Ia juga menjadi ketua perkumpulan barongsai Ho Tek Tong. Pernah ikut kejuaraan dunia: Ho Tek Tong juara dunia. Mengalahkan Barongsai dari Tiongkok, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan. Baru lima tahun kemudian giliran Barongsai dari Tarakan yang juara dunia.

Di Padang, Andreas berhasil membangun rumah baru. Sekaligus dua mesin. Lima tahun yang lalu.

Itu untuk menggantikan sistem kremasi yang lama. Yang asapnya tebal. Yang baunya menyengat. Yang satu hari hanya bisa membakar satu mayat –karena pembakarannya lama dan perlu masa pendinginan.

Andreas lantas diminta masyarakat Tionghoa Pekanbaru untuk hal yang sama. Ia memang punya usaha di Pekanbaru. Andreas pun membangun di Pekanbaru. Sekaligus dua mesin. Bahkan akan tambah satu lagi –yang akhirnya dipasang di Jakarta itu.

Andreas pernah menjadi dealer Mercedes-Benz untuk seluruh Sumatera. Ia punya banyak kenalan. Termasuk Wali Kota Jakarta Barat.

Kepada wali kota itu, Andreas mengatakan: "Kalau ada lahan dan saya diberi izin, saya sanggup membangun dalam satu minggu. Akan saya gratiskan selama pandemi ini."

Wali Kota tanggap cepat. Ia melapor ke gubernur –tidak perlu saya sebutkan namanya. Sang gubernur langsung setuju. Mereka sepakat melihat lokasi pemakaman Kristen di Tegal Alur, Jakarta. Letaknya di antara Ancol dan PIK.

"Apakah lahan ini cukup?" tanya sang gubernur seperti ditirukan Andreas.

"Cukup sekali. Untuk dua mesin pun cukup," jawab Andreas.

Lahan itu ada di sebelah kantor pemakaman.

"Kalau hari ini bapak izinkan. Seminggu lagi sudah bisa dipakai membakar mayat," tantang Andreas.

Hari itu pun diputuskan: go!

Andreas pun menyewa crane kapasitas 50 ton. Ups... ada yang meminjaminya. Berat seluruh mesin itu sendiri 10 ton tapi lokasinya agak masuk jauh. Perlu crane besar.

Keistimewaan mesin bakar mayat yang ini –buatan Korea tapi dirakit di Indonesia– tidak menimbulkan asap dan bau. Sistemnya: pembakaran ganda. Asap yang muncul langsung dibakar lagi. Satu mayat hanya menghabiskan 15 liter solar.

Proses pembakarannya juga sangat cepat: 75 menit. Tidak lagi 5 sampai 6 jam seperti cara kremasi yang lama. Itu pun masih harus menunggu dingin untuk bisa mengambil abunya. Mesin Andreas ini beda. Begitu pembakaran selesai, abu bisa diambil –15 menit kemudian.

Itu karena ada ''baskom'' ukuran 40 x 60 cm di bawah jenazah. Begitu pembakaran selesai baskom itu bisa ditarik. Abu tulang jenazah ada di baskom itu. Masih membentuk seperti pada posisi manusia. Abu tulang kepala di atas. Abu tulang lutut di bawah. Abu tulang pinggul di tengah.

Tulang di bagian bawah lutut –sampai jari kaki– habis terbakar. Tidak terlihat abunya. Karena itu panjang baskom cukup 60 cm. Cukup dari kepala sampai lutut.

Krematorium made in Andreas ini –nama Tionghoanya Sho Yong Tjuan– bikin heboh karena gratis. Andreas mampu memecahkan sistem kapitalisme dalam pembakaran mayat.

Di Jakarta sebenarnya sudah ada 21 mesin –di 8 lokasi. Termasuk di Tangerang. Termasuk dua buah milik umat Hindu.

Tapi jumlah mayat jauh melebihi kapasitas. Hukum kapitalisme berlaku: siapa mau mahal bisa dilayani lebih cepat. Yang kaya bisa menyalip antrean.

Itu terjadi di mana-mana. Baru ada satu Andreas yang memecahkannya.

Untuk sistem pemakaman ternyata lebih sederhana. Tinggal cari lahan. Tapi muncul juga hukum permintaan dan penawaran. Dalam bentuk pungli seperti yang terjadi di Bandung itu.

Pemakamannya memang sederhana. Tapi praktiknya juga tidak sederhana. Sebelum dimakamkan mayat harus dimasukkan peti mati.

Mulailah kapitalisme naik pentas. Harga peti mati ikut hukum pasar. Itu pun barangnya belum tentu ada.

Itu yang membuat Ketua Kagama Jatim Arif Afandi, berunding dengan anggotanya: menyumbang 50 peti mati. Akan ada tahap berikutnya lagi.

"Kami tidak beli. Bikin sendiri. Tinggal beli kayu dan ongkos tukang. Kebetulan ada pabrik mebel yang tutup," kata Arif yang mantan Wakil Wali Kota Surabaya dan Pemred Jawa Pos yang kini menjadi redaktur tamu Harian Disway.

Untuk mengatasi mahalnya peti mati itu, Adi Jasa beruntung. Sumbangan dua truk cold storage bisa dipakai menyimpan 18 mayat. Sambil menunggu peti dan giliran dikremasi.

Adi Jasa sendiri sebenarnya sudah lama ingin membangun . Belum mendapat izin. "Kami akan mengajukan izin lagi," kata Anis Rungkat, salah seorang wakil ketua Adi Jasa.

Belum pernah kita memikirkan orang mati seserius sekarang ini. (*)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO