Tausiyah Kebangsaan, KH Marsudi Syuhud: Pancasila Hasil Musyawarah Muktamar NU 1936

Tausiyah Kebangsaan, KH Marsudi Syuhud: Pancasila Hasil Musyawarah Muktamar NU 1936 Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Dr. KH. Marsudi Syuhud, M.A. saat memberikan tausiah. foto: ist.

"Ketika semuanya nyambung, keberkahan itu hadir. Sudah dicontohkan Rasulullah SAW dalam membangun negara kecil bernama Madinah, yang tertuang dalam Piagam Madinah. Rasulullah mendirikan negeri Madinah sebagai negara untuk menyambung, mengikat masyarakat di dalamnya untuk hidup bersama meskipun tidak satu agama," paparnya.

"Islamnya saja ada golongan Muhajirin ada Ansor, ada Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang bukan agama samawi. Dari beragam agama itu diikat untuk menyatukan perbedaan," imbuh KH Marsudi Syuhud.

"Sebagai penyatu perbedaan, Rasulullah memiliki kemampuan yang mumpuni sebagai hakim, jenderal ketika perang, hingga mengurus ketertiban. Bahkan Rasulullah sampai mengurusi akhlak," ujarnya.

Pada kesempatan ini, KH. Marsudi Syuhud juga menegaskan sebagai dasar negara atas hasil musyawarah pada Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1936. "Berangkat dari musyawarah itulah lahirlah dasar negara," ujarnya.

"Jadi bila ada yang bertanya pilih Alquran atau , itu sama halnya menanyakan bumbu pecel tumpang atau pecel tumpang, bakso atau buletan bakso," katanya.

"Artinya, itu terdapat dalam Alquran. Maka tugas pemerintah adalah menyambungkan hukum yang tetap berupa Alquran dan Sunnah ke dalam aturan-aturan, demi kemaslahatan umat. Alquran dan Sunnah itu hukum yang tetap, sementara masalah terus tumbuh dan berkembang, maka pemerintah tinggal membuat aturan untuk kemaslahatan. Lampu lalu lintas tidak ada dalam Alquran dan Alhadits, namun karena maslahat untuk umat manusia, maka itu sudah memenuhi aturan yang syariah," terangnya. 

Ia kemudian mengambil contoh mengenai wabah Covid-19. "Rasulullah menyuruh kita waspada dan lari sebagaimana waspada terhadap singa. Maka aturan turunannya ya lockdown dan bansos. Negeri ini tentu ada kekurangannya, maka kekurangannya yang diperbaiki bukan membubarkan negerinya," ujarnya.

Ia menekankan konteks hubungan negara dan agama terdapat dalam tiga hal. Pertama, negara harus mampu membuat hubungan antara hukum tetap (Alquran dan Alhadist) dengan produk undang-undang yang dihasilkan negara. "Aturan yang dibuat negara harus bermanfaat dan mengurangi kemaksiatan atau kekacauan," tandasnya.

Kedua, bernegara itu harus bisa menyatukan maslahat umum dan individu. "Contohnya pajak, hasil pajak bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun adakalanya masyarakat dalam kondisi tak mampu bayar pajak, maka aturannya diubah bisa afirmasi atau tax holiday," ujarnya lagi.

Dan yang ketiga, menyatukan atau merukunkan kepentingan materi dan rohani. "Saat negara memperbolehkan salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya bahkan mengurusinya maka sudah syariah. Meskipun bakal ada tabrakan antara syariah dan maksiat, misalnya ada korupsi bantuan sosial, maka korupsinya dibasmi bukan bantuan sosialnya yang dihilangkan," tukasnya. (uji/rev)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO