​Karomah Mbah Moen, Bisa Melipat Waktu, Restoran-Hotel Terbakar karena Harga Menu Mahal

​Karomah Mbah Moen, Bisa Melipat Waktu, Restoran-Hotel Terbakar karena Harga Menu Mahal Dr. KH. Fadlolan bersama KH. Maimoen Zubair. foto: IST/ BANGSAONLINE

SURABAYA, BANGSONLINE.com - Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, alumnus Univesitas Al-Azhar Kairo Mesir ini selalu jadi khaddam (pelayan) setiap KH Maimoen Zubair (Mbak Moen) ke Mesir. Sekretaris MUI Jawa Tengah dan pengasuh Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Jawa Tengah itu mengaku banyak punya kenangan saat bersama ulama kharismatik yang wafat di Makkah Arab Saudi itu. HARIAN BANGSA dan BANGSAONONLINE minta Kiai Fadlolan menuliskan pengalamannya agar pembaca juga mendapat tambahan pengetahuan tentang kiai yang dikenal alim dan kharismatik itu. Berikuti catatan Kiai Fadlolan untuk pembaca HARIAN BANGSA dan BANGSONLINE.COM:

Setidaknya tiga kali saya khidmah kepada KH. Maimoen Zubair, tiap ke Mesir. Dalam ziarah ke tiga 2005, beliau saya agendakan ziarah wisata ke Luxor dan Aswan didampingi Ibu Nyai Heni Maryam, saya bawa ke Airport Cairo. Saat di ruang boarding tiba-tiba beliau membisiki saya: “Mas Fadlolan, nanti kita ziarah ke Imam Syadzily ya…!!!” Ini permintaan yang sulit saya menjawab.

Dalam hati saya berkata tidak mungkin, karena tiket pesawat sudah saya beli PP Ciro-Luxor-Cairo, berangkat pukul 07.00 kembali pukul 20.00. Biasanya kalau ziarah kemakam Imam Syadzili, mesti nginap, karena perjalanan tidak cukup pulang-pergi sehari semalam. Jarak tempuh Cairo Luxor +- 900 km dengan pesawat terbang, Luxor Humaisarah perkampungan Imam Syadzili +-400 km dengan jalan darat. Jalan sepi tidak begitu baik aspalnya. Maklum bukan jalur wisata turis. Yang paling aneh jalur ini tidak ada fasilitas kehidupan (tidak ada listrik, air, sinyal telpon, pom bensin, toilet, warung, dan lain-lain. Tidak ada sama sekali).

Siapa Imam Syaikh Asy-Syadzili? Syekh Abul Hasan Asy- Syadzili, dikenal juga Imam Syadzili, lahir di Ghumarah, Maroko, 1197 - wafat Humaitsara, Mesir, 1258) adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia. Ia dipercayai oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad, yang lahir di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghreb (sekarang termasuk wilayah Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M. Nasab atau garis keturunan Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah SAW.

(Dr KH Fadholan bersama KH Maimoen Zubair dan istrinya di makam Syaikh Imam Syadzili di Mesir. foto: istimewa/BANGSAONLINE.com)

Saya ingin benar-benar khidmah kepada kiai saya, maka saya harus berkata: “Sendiko dawuh/njih siap kiai”. Pikiran saya masih terhantui tidak mungkin. Lalu saya telepon kawan saya orang Mesir yang siap menjemput kami di bandara Luxor.

“Ya ammi Fauzi, hal mumkin ziarah ila al Imam Syadzili?”

Dia jawab, “Mus mumkin/tidak mungkin”. Tapi saya mencoba meyakinkan dia berulang ulang, dan dia tetap menjawab tidak mungkin, karena dia sudah hafal ukuran kilometer perjalanan yang mesti nginap atau kalau langsung balik mesti ketinggalan pesawat dan nginap di Luxor.

Singkat cerita, saya harus berkata: Kita coba, jika bisa PP ya alhamdulillah, bila tidak bisa ya kita nginap di Luxor dan tiket pesawat kita hangus. Akhirnya si Fauzi menyetujui.

Sampai kami tiba di bandara Luxor pukul 08.00 lalu kami sarapan minum hangat sambil menunggu pintu gerbang Ma’bad Luxor atau Luxor Temple (Kuil tempat ibadah Firaun yang di Luxor) pukul 08.30 mulai masuk. Beliau sangat mengagumi peninggalan Firaun, Beliau sambil mengajari saya supaya senang sejarah peradaban, beliaulah pakarnya. Saking senangnya, beliau lalui dua lokasi Ma’bad Luxor sambil cerita ayat-ayat kauniyat dihubungkan dengan ayat-ayat al-Quran, sambil foto-foto, saya abadikan.

Saya sering mengingatkan beliau: jadi ke makam Imam Syadzili Mbah Yai? Beliau jawab: Hiya, Jadi…. Karena sudah pukul 10.30, namun saking asyiknya, beliau tidak terasa capek. Saya ingatkan ulang, dan beliau berkata: Njih monggo berangkat ke Imam Syadzili. Tepat pukul 11.00 beliau saya naikkan mobil sedan Daewoo yang sering saya rental sekalian sopirnya, lalu meluncur cepat menuju Edfo, 100 km perbatasan Luxor dengan padang pasir yang tidak ada fasilitas kehidupan.

Tiba di Edfo pukul 13.30, kami salat jamak taqdim, lalu makan siang di warung samping mushalla tersebut. Di sinilah kekeramatan KH. Maimoen Zubair, mulai dimunculkan: Seorang ibu pemilik warung makan, tiba-tiba keluar membawa air botol aqua besar, seraya berkata: “Ya Syekh, ud’u li zauji, wa hua maridh” / ”Ya Syekh, doakan suami saya, ia sedang sakit”.

Beliau langsung terima botolnya dan didoakan seperti biasa tamu-tamu di ndalem Sarang pada minta doa. Lalu beliau bertanya: “Aina zajak” / ”Dimana suamimu” lalu diajak ke kamarnya disuwuk dan diolesi air yang di botol tersebut.

Saat kami pamitan, mau bayar warung, sungguh saling menjaga wirai, maunya yang punya warung tidak mau dibayar, tapi si Mbah KH. Maimoen Zubair, harus dibayar. Di situlah kekeramatan beliau terbaca oleh kami semua, terutama sopir saya amu/Lik Fauzi mulai kagum dan semakin percaya membawa seorang alim allamah yang sakti ini.

Kami meninggalkan warung pukul 14.30 menuju Humaisarah yang jaraknya sekiatar 300 km. Pukul 17.00 kami tiba, lalu ambil wudlu dan ziarah. Kiai Maimoen Zubair membaca Hizb Nasr, tahlil singkat dan berdoa. Tepat pukul 17.45 matahari gelap. Kami segera meneruskan perjalanan kembali ke Luxor. Kekeramatan Syaikhona KH. Maimoen Zubair, tidak bisa ditutupi lagi, semakin jelas….

Beliau duduk sila di jok belakang bersama ibu Nyai Heni Maryam, wiridan. Saya di jok samping sopir. Melihat jam yang harusnya kami sudah tiba di bandara Luxoor pukul 18.30 (dulu belum ada check in online) tapi saya hanya berdoa semoga kebagian pesawat. Semakin semangat sopir Arab itu, lupa kalau mobilnya itu sedan Daewoo tua, kok diajak lari 150-160/km. Saya merasa ban mobil itu tidak nempel aspal. Ditambah jalannya pun tidak begitu baik. Tapi saya yakin yang saya bawa itu seorang waliyullah Syaikhona KH. Maimoen Zubair, semakin kencang wiridan semakin cepat….

Di tengah perjalanan itu kami hanya dibekali istri saya cemilan ringan dan lemper buatan malam hari, yang dengan panas matahari sampai sore harinya sudah tidak sehat lagi. Tapi Syaikhona KH. Maimoen Zubair, sangat arif dan mendidik saya untuk qonaah/neriman: “Ayu mas Fadlolan, kita makan lempernya buatan neng Fenti, …itu enak ya…, pinter masak ya istri mas Fadlolan,” katanya. Padahal beliau tahu istri saya itu tidak pintar masak.

Lalu saya bergegas harus menyiapkan makan malam. Beliau pasti butuh kamar kecil untuk bersuci dan jamak salat Maghrib dan Isyak. Maka saya telepun hotel dekat airport yang bisa menyiapkan makan malam siap santap dan bisa ke kamar kecil dan mushalla.

Perjalanan 400 kilometer sungguh terlipat waktunya hanya 2,5 jam (padahal setiap saya jalan ke sana bila tidak bersama Syaikhona KH. Maimoen Zubair, antar 7-9 jam). Namun pukul 19.00 kami tiba di Luxor di sebuah restoran hotel, lalu kami makan malam seafood dengan cepat. Beliau memberi saya uang 300 pound Mesir, standar umum makan berempat sudah cukup. Ternyata totalan kasir harganya 750 pound Mesir. Si Mbah Maimoen Zubair melihat kalau saya menambahi banyak.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO