Sumamburat: Banjir Itu Tidak Soal Takdir

Sumamburat: Banjir Itu Tidak Soal Takdir Suparto Wijoyo.

Hujan bukan penyebab banjir, sehingga banjir bukanlah soal takdir. Banjir itu soal pengelolaan sumber daya alam, tata kota,

tata pemerintahan, manajemen lingkungan, yang pada akhirnya adalah tata laku publiknya. Banjir pada ujungnya bermula dan berakhir pada konsepsi pembangunan yang dianut serta diimplementasikan oleh penyelenggara negara. Hal ini berarti masalah banjir adalah urusan bernegara yang berkaitan dengan public policy yang diformulasi oleh negara. Dengan demikian orientasi memilih jalan pembangunan sangat menentukan ke mana pergerakan banjir diarahkan.

Air hujan tidak akan melaju menerjang desa ke kota, kalau di setiap wilayah tersedia bank air yang menampung. Bank air itu dapat berupa kawasan konservasi, hutan kota, hutan desa, dan telaga-telaga yang sejak era abad ke-3 dikembangkan nenek moyang dan mencapai tingkat kemajuan di abad keemasan Majapahit. Satu thani, kabuyutan - padukuhan memiliki telaga dengan pepohonan yang memadai disertai lumbung pangan. Konstruksi ini berorientasi tentang suasana bernegara yang rakyatnya menikmati irigasi pertaniannya, sanitasi perkotaannya, dan sandang-pangan-papan yang berkecukupan.

Abad ke-21 ini tidak untuk menghindari tradisi itu tetapi dapat mensinergiskan serta mengaktualisirnya dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pembangunan mall, supermarket, property, dan gedung-gedung tinggi dapat diimbangi dengan membangun embung-embung yang representatif secara planologis dengan balutan ruang terbuka hijau sebagai areal konservasinya.

Dengan pola ini air hujan dapat bercengkerama secara ekologis dengan pepohonan, bercerita dengan hutan rakyat, hutan kota, hutan konservasi serta taman-taman rumah. Air hujan menjadi kerasan bersamanya tanpa perlu lari kencang guna bersimpuh di perut sungai, kali ataupun bengawan, apalagi dengan membawa potongan kayu yang ditinggal pencurinya. Tatkala air hujan tidak tertambat di lahan konservasi, apa akibatnya? Bagaimana sungai tidak meluap, dikala perutnya tidak lagi menampung luberan, bukan karena dia tidak sayang air hujan, tetapi pendangkalan yang dialami akibat erosi, itulah yang ditangisi sungai dengan konsekuensi kesejahteraan rakyat terabaikan lagi.

Meningkatnya kemerosotan lingkungan telah pula sampai pada tataran merenungkan kembali keberadaan negara kesejahteraan. Peran negara dan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat harus ditata kembali kalau banjir tetap menjadi tradisi. Peran negara dengan pemerintah pada akhirnya sampai pada perbincangan yang bersentuhan dengan economic performance global, regional maupun nasional dan lokal yang diramu sebagai muatan sustainable development.

Pembangunan berkelanjutan menyorongkan pelaksanaan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa menggerus kepentingan generasi mendatang dengan memadukan pilar ekonomi, sosial dan ekologi secara integral. Dengan konsepsi fundamental demikian, ternyata tetap saja dipersepsi bahwa yang berkelanjutan adalah pembangunannya dengan dampak ikutan kehancuran lingkungan maupun kerapuhan sosial yang berupa kemiskinan, termasuk akibat banjir.

Ini menandakan di ranah pembangunan berkelanjutan terdapat fakta yang senantiasa muncul dalam bentuk disparitas, ketimpangan sosial sekaligus penggadaian kekayaan alam yang dalam bahasa tertentu dinyatakan terjadinya transaksi kapitalisasi ekologi yang telah melampaui batas-batas yang bisa ditoleransi. Hentikan itu maka banjir tidak akan ada lagi.

*H. Suparto Wijoyo, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO