Fragmentasi NU dan Kitab At-Tibyan

Fragmentasi NU dan Kitab At-Tibyan Aguk Irawan MN.

Oleh: Aguk Irawan MN

Semalam di pesantren Asshodiqiyah Semarang (18/12), bersama kiai sepuh, kita tafakkur, tadabbur dan bermunajat sunyi secara jamaah untuk mengetuk pintu langit demi kemaslahatan Indonesia dan NU, sambil melihat sejenak perjalanan jam'iyyah NU ke belakang. Di antara para kiai, Guru Besar Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.A. hadir, mengingatkan kita pada sebuah keyakinan yang fundamental: Nahdlatul Ulama, katanya, adalah pemangku negeri ini.

NU, tentu saja tidak sendirian. Bukan sekadar organisasi, bukan pula sekadar massa yang bisa dihitung jumlahnya. Lebih dari itu, ia adalah tiang penyangga, sebuah epistemologi hidup yang merawat tenun keindonesiaan. Pernyataan itu menggema, menuntut permenungan: jika yang empunya peran—sang pemangku—goyah, maka Indonesia pun akan terhuyung, kehilangan salah satu jangkar terpentingnya.

Sebuah pandangan yang menempatkan tanggung jawab NU melampaui urusan internalnya sendiri, masuk ke dalam denyut nadi eksistensi republik. Lalu, Kiai Muadz Tohir, dengan suaranya yang tenang, melengkapi gambaran itu dengan perspektif yang lebih dekat dengan keseharian, dengan denyut hidup di pesantren dan di tengah masyarakat. Beliau menekankan pentingnya mujahadah dan munajat sebagai ruhhul harakah (batiniah pergerakan).

Sebab, pada akhirnya, kekuatan sejati bukan hanya pada struktur yang kokoh, melainkan pada ketulusan niat dan kedalaman spiritual mereka yang menggerakkannya, katanya. Dan, kini barangkali, tak ada yang lebih tragis dari sebuah ironi: sebuah organisasi lahir untuk merawat persaudaraan, namun di usia melenium keduanya, justru terkoyak oleh dinamika internal.

Nahdlatul Ulama (NU), entitas kultural dan keagamaan terbesar di negeri ini, kini sedang menghadapi momen tergelincir. Polemik di tubuh PBNU—entah soal tambang, zionis, tata kelola keuangan atau arah politik, tafsir mandat, atau sekadar perebutan pengaruh—telah menciptakan retakan nyata. Sesama kader, yang dulu dipersatukan dalam satu barisan, kini saling berhadapan, memunculkan "dinamika" yang lebih mirip konflik terbuka ketimbang musyawarah mufakat.

Ini bukan sekadar riak kecil. Ini adalah gejala keretakan sosiologis di mana afeksi digantikan oleh friksi. Di media sosial, di warung kopi pinggiran, hingga di majelis pesantren, percakapan sering kali memanas. Solidaritas batiniah, yang menjadi pilar utama NU, seakan tergerus oleh pragmatisme kekuasaan dan politik identitas yang keras. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apa yang hilang dari diri kita, para pewaris sah tradisi ini?

Di tengah polarisasi itu, di antara saling klaim kebenaran dan tuding-menuding, ingatan kita seolah dipaksa kembali pada sebuah buku kecil, ringkas, namun sarat makna. Ia adalah At-Tibyan fî Nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri. Kitab ini, yang selesai ditulis pada 20 Syawal 1360 H, persis seperti sebuah tamparan lembut bagi mereka yang kini asyik bertikai.

Buku At-Tibyan bukan sekadar teks fikih biasa. Ia adalah wasilah spiritual, sebuah penanda etis yang fundamental. Mbah Hasyim, dengan kearifannya, mengingatkan bahwa memutus silaturahim adalah dosa besar (kabair). Ia mengutip Surah an-Nisa ayat 1 dan Surah Muhammad ayat 22-24, menegaskan bahwa tindakan memutus tali persaudaraan adalah tindakan merusak di muka bumi, mengundang laknat Tuhan.

Pentingnya buku ini sekarang menjadi relevan secara eksistensial. Di saat kader-kader NU terbelah karena ego sektoral, At-Tibyan berfungsi sebagai cermin. Ia mengingatkan bahwa permusuhan, kebencian, dan saling menjauhi tanpa udzur syar’i adalah tindakan yang dicela. Mbah Hasyim tidak hanya berbicara soal kerabat darah (arham), tetapi juga persaudaraan sesama Muslim (ikhwan).

Maka, polemik PBNU hari ini, dengan segala bisingnya, seharusnya memaksa kita untuk berhenti sejenak. Di balik setiap argumen politik, ada kewajiban etis yang jauh lebih tinggi: menjaga ukhuwah. Buku Mbah Hasyim adalah jangkar yang menahan kita agar tidak terseret terlalu jauh dalam arus perpecahan.

Ia adalah semacam navigasi moral, penuntun jalan pulang menuju esensi ajaran NU yang sejati: persatuan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama, bahkan dalam perbedaan pandangan politik. Tanpa kembali pada suluh kearifan At-Tibyan, fragmentasi ini akan menjadi kisah tragis tentang sebuah perahu besar yang karam karena nakhodanya lupa cara berlayar bersama. Wallahu'alam bishawab.