Sekilas Menyimak Tradisi Tetaken Gunung Limo Pacitan

Sekilas Menyimak Tradisi Tetaken Gunung Limo Pacitan Suasana saat upacara Tetaken di Gunung Limo. (foto: ist)

Digambarkan dalam ritual ini, sang juru kunci Gunung Limo turun gunung bersama para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya. Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Bersamaan turunnya para pertapa dari puncak gunung, iring-iringan warga muncul menyambut para pertapa memasuki area upacara.

"Masyarakat mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung (Panji Tunggul Wulung, Keris Hanacaraka, Tombak Kyai Slamet, dan Kotang Ontokusumo/Jubah Hitam pertapa)," cerita Jolothundo.

Di Pacitan, lanjut dia, terdapat lokasi pendadaran (pelatihan kanuragan dan kebatinan) yang berpusat di Gunung Limo. Pendadaran prajurit kemudian lazim disebut sebagai wisudan Tunggul Wulung (wisuda yang dilakukan oleh Tunggul Wulung). Prajurit Mataram melakukan pendadaran olah kanuragan dan kebatinan kepada pemuda-pemuda di desa-desa dengan tujuan memperkuat pertahanan kerajaan apabila sewaktu-waktu ada peperangan.

Pembekalan yang dilakukan oleh prajurit Mataram di bawah Panji Tunggul Wulung tidak hanya olah fisik saja kepada generasi muda. Melainkan mengajarkan ilmu kasepuhan kepada masyarakat. Memantabkan ajaran Islam secara esketik dikombinasi dengan penanaman prinsip-prinsip pengabdian kepada negara.

"Mendekatkan hubungan kerajaan dengan masyarakat sekaligus mempereratnya. Kegiatan penanaman mental bela negara, olah kaprajuritan, kepatuhan kepada raja dan kerajaan, nilai nilai-nilai moral, spiritual lahir dan batin oleh prajurit Mataram Tunggul Wulung ini di kemudian hari menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi yang disebut dengan Tetaken," pungkasnya. (yun/rev)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO