MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com - Kebencian karena rasis masih jadi keprihatinan sejumlah kalangan di negeri ini. Intoleransi semakin menguat dengan bertumbuh suburnya pratik-praktik diskriminasi kepada kelompok yang dianggap berbeda. Karena alasan itu, Jumat (4/5) di gedung gereja GKI (Gereja Kristen Indonesia) Mojokerto menggelar bedah buku yang berjudul “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia.”
Buku ini ditulis oleh 72 orang dengan latar belakang etnis, agama dan ras yang berbeda-beda. Mulai dari para rohaniwan, pendeta, romo, dosen, guru, aktifis mahasiwa sampai ibu rumah tangga. Dalam buku ini, bisa dibaca pengalaman pribadi para penulis dalam berelasi, bergaul, dan bertetangga dengan orang lain (the others), antara etnis Tionghoa dan bukan Tionghoa.
BACA JUGA:
- Kiai Miliarder Ini Bakal Ungkap Kunci Rahasia Jadi Orang Kaya di Unhasy Tebuireng
- Hari Buku Nasional 2023, SMA Al Muslim Launching Empat Buku Karya Guru dan Siswa
- Bedah Buku Pangeran Samber Nyowo, Penulis Sebut Berbeda dari Sumber Sebelumnya
- Bupati Anne Senang Baca Buku Kiai Miliarder Tapi Dermawan, Berharap Lahir Kiai Asep di Purwakarta
Andreas kristianto yang menjadi rohaniwan di GKI Mojokerto menyampaikan, orang Tionghoa seperti hidup di negeri asing. Bagaikan tamu yang tinggal di rumah sendiri.
“Banyak praktik diskriminasi mulai dari ujaran kebencian (hate speech), stigma negatif, bahkan persekusi fisik terjadi dan dialami oleh orang-orang Tionghoa,”ujar dia.
“Buku ini adalah buku yang meinspirasi. Membongkar kesalahpahaman nalar yang menyulut api kebencian kepada kelompok yang berbeda, khususnya saudara-saudara Tionghoa,” tegas Andreas.
Imam Maliki yang menjadi koordinator gusdurian Mojokerto mengatakan, dia belajar dari Gus Dur, karena beliau adalah teladan. Gus Dur pernah berujar jika kamu melakukan kebaikan, orang tidak akan tanya agamamu apa dan etnismu dari mana.
“Dengan momentum kebersamaan ini, mari kita memperkuat tali silahturami dan persaudaraan untuk membangun kerja-kerja kemanusiaan,”tutur Imam.