Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Teknik dakwah yang ketiga adalah al-mujadalah, berdiskusi, berdebat demi menemukan kebenaran. Namun ada gaya bahasa tersendiri pada teknik ketiga ini, sehingga tidak sama dengan dua teknik sebelumnya, yakni al-hikmah dan al-mau'idha.
Ayat itu dibuka dengan kata perintah: Ud'u, berdakwalah, kemudian dijelaskan caranya, yakni: bi al-hikmah wa al-mau'idhah hasanah, pitutur kang becik. Mau'idhah inilah gaya monolog, di mana juru dakwah berbicara sendiri, sementara audien pasif dan hanya mendengarkan.
Jika al-hikmah untuk kondisi dan audien umum, maka al-mau'idhah untuk audien kelas menengah ke bawah. Audien masih belum punya pengetauan luas atau untuk situasi pembekalan, siraman, penambahan materi, nasihat, seperti khutbah dan lain-lain.
Beda ketika masuk cara ketiga, diskusi. Diskusi tidak dimasukkan dalam sub teknik, melainkan dikemas dalam bentuk perintah tersendiri. Jika masuk teknik, maka bahasanya begini: ".. bi al-hikmah, wa al-mau'idhah al-hasahan, wa al-mujadalah al-husna" dan al-Qur'an tidak demikian. Mengantar teknik diskusi, dibuatlah perintah tersendiri, yakni: " ..wa jadilhum bi al-lati hiy ahsan". Debatlah mereka dengan cara yang paling baik.