Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Yawma ta/tii kullu nafsin tujaadilu ‘an nafsihaa watuwaffaa kullu nafsin maa ‘amilat wahum laa yuzhlamuuna (111).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Setelah membicarakan keimanan para sahabat terdahulu dengan segala risikonya, dari yang disiksa, yang susah payah berhijrah, bahkan yang durhaka dan bertobat, kini Tuhan membicarakan alam akhirat, alam pembalasan nanti. Di alam itu, semua umat manusia merasa salah dan kekurangan amal kebajikan. Mereka menyadari kebrutalan emosinya masa lalu, menyadari kesalahannya yang memburu nafsu dan menyadari keangkuhannya terhadap pesan agama demi kepentingan duniawi yang palsu.
Hari pengadilan itu pasti datang dan keadaan macam itu pasti terjadi. Semua kembali menyalahkan diri sendiri setelah bertengkar dan saling menyalahkan sesama yang ternyata tiada guna. Masing-masing akan mendapatkan balasan dan imbalan utuh dari apa yang pernah mereka perbuat, tanpa kurang barang sedikit. "Watuwaffaa kullu nafsin maa ‘amilat wahum laa yuzhlamuuna".
Semua umat manusia podo sambat, merintih dan meratapi diri: "nafsy, nafsy", duhai nasibku, nasibku begini malang, begini sengsara dan seterusnya. Kecuali diri Rasulullah SAW saja yang justru memberi syafaat kepada umatnya yang dikenal dan dikasihi. Jika mereka meratapi diri, nafsy, nafsy, tapi Nabi justru berucap: "ummaty, ummaty", Ya Tuhan, sayangilah umatku, sayangilah umatku.
Umar ibn al-Khattab pernah meminta nasihat spektakuler kepada Ka'b al-Ahbar, mantan pendeta senior yang sangat disegani. "Hai Ka'b, beri aku nasehat yang memilukan hati".
Ka'b berkata: Wahai amir al-mu'minin, demi Dzat, di mana jiwa dan ragaku berada dalam genggaman-Nya. Andai tuan punya amal kebajikan sekelas amal tujuh puluh Nabi, tuan tetap merana di hari kiamat nanti. Bukan faktor lain, tapi justru diri tuan sendiri yang meresahkan hati tuan. Jangankan tuan, sekelas Nabi Ibrahim A.S. saja sangat panik dan hanya mementingkan keselamatan diri sendiri.
Umar terperanjat kaget dengan paparan macam itu, seolah menuduh Ka'b, sang pendeta mengada-ada. "Dari mana engkau berkata demikian, adakah rujukannya?".