Merdeka dari Oligarki, Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI

Merdeka dari Oligarki, Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI Mukhlas Syarkun. Foto: ist

Oleh: Mukhlas Syarkun

Genap usia 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Bangsa Indonesia terlihat lebih asyik mengenang masa lalu. Bagaimana para pendiri bangsa ini berjuang, kisah-kisah dan berbagai cerita tentang perjuangan heroic. Menjadi perbincangan publik yang begitu intens.

Hal ini memang positif, namun tentu jangan sampai kita larut dalam nostalgia perjuangan para pejuang dalam ruang hampa, tanpa mengambil hikmah dan inspirasi dari semangat beliau-beliau untuk membawa Indonesia ini mencapai kemerdekaan, cita-cita yang menjadi motivasi para pejuang yang rela mengorbankan nyawa demi Ibu Pertiwi. Inilah sesuatu yang mendesak diwujudkan.

80 tahun Merdeka adalah momentum untuk merenungkan arah perjalanan bangsa ini. Apakah sudah sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang telah diprasastikan oleh pendiri bangsa ini dalam Mukoddimah Undang-Undang 1945, atau justru kita melenceng terlalu jauh dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri.

Ada beberapa hal dari cita-cita itu telah terlaksana, khususnya kemandirian dalam menentukan perjalanan bangsa. Tidak lagi dikooptasi dan didominasi oleh kekuatan asing. Kita berhasil menjadi bangsa yang berperan aktif dalam kanca global dengan tetap menjadi negara yang bebas aktif.

Begitu pula dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa secara kuantitatif.

Memang ada perkembangan yang baik di awal kemerdekaan. Hampir 80% masyarakat buta huruf dan dalam 80 tahun ini, kita telah berhasil meningkatkan pendidikan dari masa ke masa.

Namun, jika dilihat dari upaya menghadapi dinamika dan perkembangan dunia saat ini, maka cita-cita untuk mencerdaskan bangsa masih dibawah standar. Data-data kemampuan sumber daya manusia kita masih kalah dengan negara-negara lain.

Cita-cita untuk kemakmuran bersama patut disyukuri, sebab pasca kemerdekaan sampai era pak pak Karno 75 % rakyat dalam kemiskinan. Pada masa pak Harto menurunkan 1 persen / tahun, selama 30 tahun kemiskinan menurun 30 persen. Pada era Gus Dur mampu menurunkan kemiskinan 2,5/tahun. Selama dua tahun Gus Dur jajdi presiden bisa menurunkan kemiskinan sampai 5 % kemiskinan.

Sementra pada era Jokowi kemiskinan turun 0,3 persen/tahun. Jokoei menjadi presiden selama 10 tapi hanya bisa menurunkan kemiskinan 3 persen.

Hal yang paling krusial adalah jurang kemiskinan. Data-data menunjukkan hampir 80% PDB hanya berputar di kalangan 1% dari penduduk Indonesia. Kesenjangan ini disebabkan adanya kekuatan oligarki yang berhasil berkolaborasi dengan kekuatan politik. Pada zaman Pak Harto misalnya telah muncul kekuatan kelompok kecil yang menguasai ekonomi begitu besar yang dikenal dengan konglomerat.

Fenomena konglomerasi pada zaman Pak Harto mendapat kritikan dan yang paling gencar mengkritik fenomena konglomerasi pada zaman itu adalah ketua umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid. Kritikan keras mendapat respons dari Pak Harto yang kemudian diwujudkan dalam konsep anak angkat. Artinya para konglomerat diwajibkan untuk memberi ruang kepada kelompok-kelompok kecil menengah, kolaborasi bersinergi, untuk mendekatkan jurang (kaya -miskin) yang cukup lebar di saat itu.

Belakangan ini muncul istilah oligarki yang tidak jauh berbeda dengan konglomerasi. Yaitu penguasaan sumber-sumber kekyaan Bangsa Indonesia ini hanya berada pada segelintir orang, dan yang paling mendominasi adalah penguasaan potensi sumber daya alam.

Menurut data-data menunjukkan bahwa potensi sumber daya alam kita menempati rangking atas (10 besar), di sektor batubara, emas, nikel gas dan sebagainya. Hal ini terkonfirmasi ada warga negara asing yang naturalisasi menjadi warga Indonesia memiliki kekayaan 300 triliun lebih dari hasil mengeruk tambang.

Potensi tambang, jika dikelola dengan baik - sebagaimana amanah konstitusi dan semangat keadilan sosial - seperti penuturan Pak Makhfud Md yang merujuk hitungan mantan ketua KPK (Abraham Samad), bahwa sektor tambang bisa menyumbang 7000 triliun. Sementara APBN kita yang jumlahnya 3000 triliun justru 85% dari hasil pajak rakyat.

Akal sehat dan kesadaran bernegara dan berbangsa sebagai bangsa yang Merdeka tentu bertanya, ke mana hasil potensi tambang yang begitu besar ? Jawabnya ada dalam genggaman oligarki. Mengapa oligarki begitu kuat ? Karena kolaborasi dengan politisi dan pengambil kebijakan di negeri ini.

Dari sini, maka kita belum bisa merdeka dalam pengertian yang sesungguhnya sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa, bahwa sumber daya alam dikelola oleh negara dan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Di tahun 80 Merdeka ini saatnya kita menyuarakan sekeras-kerasnya, dan berusaha sekuat-kuatnya agar bangsa ini benar-benar merdeka dari oligarki.

Berat memang, tapi tetap harus diperjuangkan, bukankah demikian ?