BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com - Bojonegoro Institute (BI) bersama IDEA melalui Program SPEAK (Strengthening Public Services through the Empowerment of Women-Led Advocacy and Social Audit Networks) dengan dukungan dari Uni Eropa dan Hivos, menyelenggarakan diskusi dan media briefing dengan tema "Partisipasi Publik dalam Pencegahan Kasus Pernikahan Dini di Kabupaten Bojonegoro".
Kegiatan yang bertujuan mendorong peningkatan pelayanan publik ini melibatkan perwakilan komunitas perempuan Suara Perempuan Penggerak Komunitas, PRCi (Poverty Resource Center Initiative), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro.
BACA JUGA:
- Kurangi Dampak Pemanasan Global, Masyarakat Sukoharjo Bojonegoro Tanam Pohon
- Pj Bupati Bojonegoro Ajak Masyarakat Dukung Pembangunan dan Jaga Stabilitas Keamanan
- Prihatin Pornografi di Kalangan Anak Muda, Aktivis SSD Temui Komisi C DPRD Kota Batu
- Sosialisasi Stop Pernikahan Dini, Berikut Penjelasan Dewan Pembina MUI Kabupaten Pasuruan
Lilis Aprilliati, Budget Advocacy Officer Program SPEAK Bojonegoro, mengatakan Program SPEAK telah berhasil mendorong keterlibatan perempuan dalam pembangunan di Kabupaten Bojonegoro sejak tahun 2018. Dalam kurun waktu akhir tahun 2020 hingga awal tahun 2021, sebanyak 127 perempuan telah meningkat kapasitasnya dalam audit sosial dan 35 perempuan, di antaranya dapat melakukan pengawasan secara partisipatif terhadap pelayanan publik, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan.
Kabupaten Bojonegoro hingga saat ini masih dihadapkan pada tingginya kasus pernikahan usia anak atau usia di bawah 18 tahun. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro, pada tahun 2020 terdapat 612 kasus pernikahan anak.
"Salah satu dampak pernikahan usia anak, terutama bagi anak perempuan adalah memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dewasa yang sudah cukup umur. Risiko ini bahkan bisa mencapai lima kali lipatnya," kata Lilis, Jumat (10/12/21).
Selain itu, kedua orang tua yang menikah di bawah umur, khususnya usia sang ibu yang belum matang, mendatangkan konsekuensi pada calon anak. Misalnya, risiko angka kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.
"Sejauh ini, sosialisasi tentang kesehatan reproduksi dan stunting hanya diberikan kepada calon pasangan pengantin secara terbatas. Kami berharap kegiatan sosialisasi dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih besar, baik sasaran, jangkauan maupun materinya," ujar dia.