Harmoko Wafat, Loyalis Soeharto yang Suka Berendam Tengah Malam itu Dibenci Keluarga Cendana

Harmoko Wafat, Loyalis Soeharto yang Suka Berendam Tengah Malam itu Dibenci Keluarga Cendana Dahlan Iskan

Pak diam sejenak. Lalu: ''Ya sudah, Dik Dahlan atur''.

(. foto: AP Photo/Bullit Marquez/CNBC)

Pak sering menyebut diri sebagai orang pergerakan. Beliau bergerak terus. Jadi pemimpin terus. Beliau menjadi ketua PWI Jakarta. Lalu, ketika PWI Pusat pecah –ada kubu Ketua Umum BM Diah dan kubu Ketua Umum Rosihan Anwar– Pak yang kemudian tampil sebagai pemenang. Dua tokoh pers itu saling mengklaim sebagai ketua umum yang sah. Pak yang menjadi ketua umum tunggal berikutnya.

Beliau teguh. Termasuk menghadapi penilaian negatif pada dirinya. Misalnya ketika beliau mendirikan koran Pos Kota. Koran jenis baru di Indonesia saat itu. Kecaman datang bertubi-tubi. Setengah melecehkan. Kok bikin koran kuning seperti itu.

Tapi Pak teguh. Di seluruh dunia koran seperti itulah yang oplahnya paling besar. Dan beliau benar. Pos Kota menjadi koran terbesar di Jakarta –secara oplah. Iklan mininya berhalaman-halaman. Menjadi kaya. Bikin percetakan modern. Bikin koran-koran lainnya lagi. Termasuk harian Surya di Surabaya –yang kemudian diambil alih grup Kompas.

Jenis korannya itulah yang membuat Pak kurang dikesankan sebagai wartawan intelektual.

Tapi beliau itu memang sangat kaya ide. Dan selalu mengerjakan idenya itu. Beliau seperti kipas angin –berputar terus. Banyak yang mengatakan beliau itu tidak punya pusar –istilah Jawa untuk menggambarkan orang yang tidak pernah istirahat.

Banyak sekali langkah beliau sebagai menteri penerangan. Istilah ''sambung rasa'' sangat terkenal. Ada pula ''kelompencapir'': kelompok pendengar (radio), pembaca (koran), dan pemirsa (TV). Ada juga koran masuk desa. TV masuk desa. Dan yang abadi adalah: Safari Ramadan.

Beliau juga sangat cinta budaya Jawa. Beliau bisa mendalang wayang kulit. Bisa menulis geguritan - -puisi berbahasa Jawa.

Beliau sedih ketika majalah berbahasa Jawa kian redup. Beliau minta agar saya menghidupkan majalah berbahasa Jawa, Jayabaya (baca: Joyoboyo). "Kita ajak nanti seluruh redaksi Jayabaya rapat. Saya akan hadir. Nanti rapatnya harus pakai bahasa Jawa," kata beliau.

Beliau pun ke Surabaya. Seluruh awak Jayabaya berkumpul. Saya yang memimpin rapat itu. Saya menggunakan bahasa Jawa sepenuhnya. Sesuai dengan petunjuk beliau.

Lalu saya mempersilakan beliau berpidato. Memberikan arahan. Beliau pun mulai berpidato menggunakan bahasa Jawa. Kian lama kian seret. Lalu mulai kecampuran bahasa Indonesia. Dan akhirnya beliau menyerah. "Huh..." kata beliau... "sulit juga ya...".

Tentu saya juga beberapa kali ke desa Patihan Rowo di utara kota Kertosono. Itulah tempat kelahiran beliau. is di seberang pabrik gula yang kini sudah mati. Sering ada acara di situ.

Tapi saya tidak menyangka beliau lantas mendirikan pesantren tidak jauh dari rumah kelahirannya itu. Bagus sekali. Bangunan fisiknya modern. Beliau mengangkat salah seorang alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo untuk menjadi pimpinan. Beliau sangat terkesan dengan sistem pendidikan di Gontor.

Tapi beliau juga orang yang suka ''nglakoni''. Yakni menjalankan olah jiwa secara Jawa: ke makam, tirakat, ke tempat keramat, dan berpuasa. Beliau hampir selalu puasa Senin-Kamis.

Saya pernah diajak ke tempat seperti itu. Ke sebuah air terjun di gunung. Yang di bawahnya ada sendang (danau mini). Kami harus kungkum (berendam) di sendang itu. Harus jam 00.00. Tengah malam. Sunyi. Sepi. Dingin.

Yang membuat saya panik: beliau kejang di dalam sendang itu. Kami membopongnya keluar dari air. Saya juga kedinginan. Dingin sekali. Pak harus selamat. Beliau orang yang begitu penting di jagat politik nasional saat itu.

Tapi kami tidak berani membawa beliau ke rumah sakit. Itu akan menghebohkan. Terlalu sensitif untuk tokoh politik yang begitu sentral. Maka kami membawa beliau ke rumah seorang dokter.

Beres. Aman. Beliau segar kembali. Tidak ada satu wartawan pun yang mendengar. Sampai sekarang.

Saya juga pernah ikut Safari Ramadan. Dari Bandung sampai Banyuwangi. Lewat jalur selatan. Dipilih jalur selatan karena dianggap wilayah itu kurang mendapat kemajuan –dibanding sisi utara Jawa.

Tiap hari jalan darat. Naik mobil. Siang. Malam. Dari satu kota ke kota berikutnya. Tiap hari pukul 02.30 sudah bangun. Harus pergi ke pesantren. Makan sahur di situ. Diteruskan dengan sambung rasa. Dengan warga pesantren.

Beliau memberi pidato di situ. Lalu salat Subuh bersama. Lantas jalan ke kota berikutnya. Sambung rasa lagi. Pidato lagi. Jalan lagi. Terus seperti itu. Dari satu acara ke acara berikutnya. Jalan terus. Pidato terus. Pun sampai habis tarawih. Masih diteruskan rapat dengan pengurus Golkar setempat. Sampai jam 12.00 malam.

Beliau hanya tidur 2 jam. Kami bisa tidur lebih banyak –termasuk saat beliau berpidato. Mata beliau terlihat selalu merah. Selama hampir satu bulan Ramadan penuh.

Sukses. Golkar menang terbesar di Pemilu setelah itu.

Nama pun mulai disebut-sebut sebagai salah satu calon wakil presiden. Waktu itu cita-cita tertinggi politikus adalah menjadi wakil presiden –karena presiden berikutnya pasti Pak Harto lagi.

Pak habis-habisan mengambil hati Pak Harto. Mulai dari prestasi sampai pidato-pidatonya. Di tahun kejatuhan Pak Harto itu pun pak -lah yang pertama melontarkan bahwa rakyat masih tetap menghendaki Pak Harto untuk terus menjabat presiden. "Saya sudah keliling seluruh pelosok Indonesia. Semua rakyat menghendaki Pak Harto lagi," begitu kurang lebih kata-kata Pak ketika itu.

Ternyata Pak Harto lebih memilih Pak B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Pak ''dibuang'' ke jabatan ketua DPR/MPR.

Lalu terjadilah reformasi itu.

Pasca reformasi, Pak sangat pandai membawa diri: diam. Tidak pernah bersuara. Tidak pernah tampil. Sekali saja beliau ingin ikut partai baru. Saya lupa namanya. Tapi tidak berlanjut. Diam lagi.

Saya masih beberapa kali bertemu beliau. Terakhir sekitar 3 tahun lalu. Beliau sudah sakit-sakitan. Jalannya sangat-sangat-sangat pelan. Tapi ingatan beliau tetap sangat baik. Dan encepan bibirnya masih khas Pak . (Ada satu tokoh lagi yang kalau mencep sangat khas: Bu Mega).

Saya masih terus mengamati: bagaimana Pak akan ditempatkan dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibenci kelompok anti-Soeharto pada zamannya. Ia dibenci keluarga Soeharto pada akhirnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO