Pak Mantep, Si Dalang Oye, Mengolah Kelemahan Suaranya Jadi Kekuatan

Pak Mantep, Si Dalang Oye, Mengolah Kelemahan Suaranya Jadi Kekuatan Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Pak Mantep, yang popular dengan Oskadon Oye itu meninggal dunia. Kena Covid-19.

Ada yang perlu diteladani. Apa itu. Sebagai ia punya kelemahan suara. Tidak koong. Padahal suara memainkan peran penting bagi . Apalagi lain sejaman Pak Mantep memiliki suara bulat dan merdu.

Namun Pak Mantep tak kalah akal. Ia mengolah kelemahan suaranya menjadi kekuatan. Ajaib. Suaranya yang “tak memenuhi syarat” justru menjadi khas dan ngetren.

Loh? Silakan simak tulisan wartawan kondang Dahlan Iskan di Disway dan BANGSAONLINE.com pagi ini Sabtu 3 Juli 2021. Selama membaca:

RUMAH sakit untuk Pak Mantep sebenarnya sudah oye! Jumat pagi kemarin RS di Karanganyar sudah siap merawat terkemuka itu. Terlambat. Belum lagi disiapkan untuk berangkat, Ki Mantep Sudarsosno meninggal dunia. Jenazah dimakamkan saat itu juga. Di pemakaman Covid-19.

Di mana beliau terkena Covid?

Tentu misterius. Tapi Jumat pekan lalu Pak Mantep masih makan sop iga di Solo. Lalu berangkat naik mobil ke Jakarta: mobil Alphard warna hitam. Enam orang ada di mobil itu. Termasuk Bu Mantep.

Keesokan harinya Pak Mantep latihan. Lengkap bersama timnya dari Solo. Seperti pentas beneran. Mulai jam 11.00 sampai jam 21.00.

Di tempat latihan itulah pentas sebenarnya dilakukan besok malamnya: di Gedung Sasono Utomo Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Gedung utama di situ. Dengan AC sentral yang sangat dingin.

Pak Mantep pentas bukan di lapangan terbuka. Pak Mantep sempat merasa kedinginan.

Lakon malam itu adalah Bharatayuda spesial. Disebut spesial karena mulai adegan Durno Gugur sampai Duryudhono tewas. "Lakon itu biasanya dipenggal menjadi 12 atau 13 lakon," ujar Jungkung Setyo Utomo, 30 tahun, keponakan Pak Mantep. Jungkung adalah lulusan S-1 pean ISI Solo. Ia juga bertugas sebagai admin live streaming Pak Mantep.

Menurut Jungkung, sampai sekarang sudah sekitar 50 lakon yang diunggah ke YouTube. Dengan penonton paling banyak 20.000an.

Jungkung juga ikut ke Jakarta. Ia berada dalam satu Alphard dengan Pak Mantep dan istri.

Pentas itu selesai jam 03.00. Langsung kembali ke Karanganyar. Naik mobil yang sama. Dengan penumpang yang sama. Cepat sekali. Jam 10.00 sudah tiba di Karanganyar.

Sejak itu Pak Mantep tidak lagi oye. Sesak napas. Badan meriang.

Tapi masih ada satu pentas lagi. Di rumahnya sendiri di Karangpandan, Karanganyar. Di pendapanya yang luas. Dengan lakon Srikandi Senopati. Itulah pentas tanpa penonton. Pentas live streaming. Untuk penggemar Pak Mantep yang ratusan ribu di seantero Indonesia.

"Saya tidak ikut di pentas live streaming itu. Saya sendiri live streaming dari rumah saya di Sragen," ujar Medhot Sudarsosno, anak sulung Pak Mantep.

Saya telepon Medhot kemarin sore. Saya mengucapkan duka cita. Juga wawancara untuk tulisan ini.

Medhot adalah anak tunggal dari istri yang pertama. "Bapak saya kan kawin delapan kali. Saya punya lima adik dari istri-istri berikutnya," ujar Medhot.

Meski Medhot tinggal di Sragen, tapi Sragen yang paling Selatan. Beda kabupaten tapi secara geografis tidak jauh dari Karangpandan. Hanya 20 Km.

Setelah live streaming itu kondisi Pak Mantep terus menurun. Melihat kondisi Covid yang gawat Pak Mantep pilih dirawat di rumah. "Pak Untung Wiyono yang minta bapak dan ibu di-swab. Lalu dikirim petugas. Ternyata positif Covid," ujar Medhot. Untung adalah bupati Sragen yang sangat terkenal prestasi pembangunannya. Medhot bersahabat dengannya.

Hari Kamis sejumlah tabung oksigen didatangkan ke rumah. Habis tiga tabung. Tapi kondisi kesehatan Pak Mantep terus memburuk. Akhirnya dicarikan RS sampai dapat. Telat.

Di usia Pak Mantep yang 74 tahun sabetannya (adegan perang yang dimainkannya) masih mengesankan. Di sabetan itulah keunggulan Pak Mantep. Wayang dibuatnya bisa jungkir balik dengan sempurna dan lincahnya.

Awalnya dulu Pak Mantep dianggap punya kelemahan mendasar: jenis suaranya. Tidak koong. Padahal di zaman itu ada Ki Narto Sabdo (alm) dan Anom Suroto. Yang suaranya begitu bulat dan merdu.

Dalang adalah juga penyanyi. Pembawa suluk. Pengucap dialog. Suara ki mutlak harus koong.

Ki Mantep secara terbuka mengakui kelemahannya itu. Termasuk ketika sedang mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Ia mengajar sebagai dosen luar biasa –karena Pak Mantep bukan sarjana. Juga tidak pernah sekolah formal pean.

"Gunakan sisi kekuatan Anda untuk menutupi kelemahan Anda." Itulah isi kuliah Pak Mantep. Seperti yang diingat Ki Cahyo Kuntadi, terkemuka masa kini. Ki Kuntadi pernah menjadi asisten dosen untuk Pak Mantep. Di ISI. Selama dua tahun. Ki Kuntadi lulusan S-1 ISI yang kemudian lanjut ke S-2.

Lama-lama jenis suara Pak Mantep justru menjadi kekuatannya. Menjadi ciri khasnya yang kuat. Sampai menjadi iklan ''Oskadon Oye!'' yang terkenal itu.

Saking kuatnya karakter suara itu sampai ada mahasiswa yang ingin meniru suara Pak Mantep. "Saya sendiri, waktu masih mahasiswa, pernah punya keinginan meniru suara beliau," ujar Ki Kuntadi. "Demikian juga beberapa mahasiswa pean angkatan saya," tambahnya.

Medhot punya rumusan yang baik untuk menggambarkan upaya Pak Mantep mengatasi kelemahannya itu. "Pintar-pintarlah mengolah cengkok," ujar Medhot menirukan doktrin ayahnya. "Juga harus pinter memainkan nada," tambahnya.

Medhot kini sudah jadi terkenal. Ia seperti ayahnya: tanpa sekolah pean. Otodidak. Belajar sendiri. "Ayah juga tidak pernah mengajar saya bagaimana men yang baik," ujar Medhot.

Sang ayah, katanya, hanya menekankan satu hal: "Kalau mau hebat, seperti ayah, ya harus sering menonton ayah men". Soal kemampuan yang lain-lain tergantung cara dan kesungguhan mengasah diri.

Apakah Medhot juga mewarisi jenis suara sang ayah?

“Kami, semua anaknya, mewarisi suara bapak," ujar Medhot. Melihat kenyataan itu Pak Mantep pernah mengatakan begini: sudah takdir keluarga kita punya suara seperti ini. Pinter-pinter kita mengolahnya.

Medhot (Me-nya dibaca seperti membaca Medan), adalah nama panggung. Nama aslinya Samyono Mantep Putro. Tapi karena sejak bayi dipanggil Medhot nama itulah yang dikesohorkan. "Kata ibu, ketika saya di kandungan suka medhot sana medhot sini," ujar Medhot.

Pak Mantep juga punya putri yang tinggal di Surabaya. Ny. Sariono. Dari ibu yang kedua. Dia seorang penari. Demikian juga suaminyi. Dua anaknyi pun jadi penari. Lulusan S-1 ISI Solo.

"Saya tidak bisa ikut pemakaman di Karanganyar. Tidak keburu. Syarat bepergian di masa Covid ini banyak," ujarnya.

Saya telepon dia. Juga bicara dengan suaminyi. Sang suami pernah menciptakan tari ngremo untuk acara saya.

Jumat pagi kemarin Ny. Sariono masih bicara dengan Pak Mantep, ayahnyi. Bu Mantep yang menelepon putri tirinyi itu. Pakai video call. Keadaan Pak Mantep kian berat sehingga Bu Mantep menghubungi putra putri yang jauh-jauh.

"Saya sesak napas," ujar Pak Mantep di video call itu. Lalu menggerakkan tangan daa..daa.

Sebulan lalu Ny Sariono ke Karangpandan. Menjenguk sang ayah. Kesan waktu itu: Pak Mantep menanyakan teman-teman kecilnya. Yang banyak sudah meninggal dunia.

Saya pernah nanggap Pak Mantep. Dulu sekali. Tujuh malam berturut-turut. Untuk lokasi yang berbeda di Jatim bagian barat.

Banyak masa kini adalah murid Pak Mantep. Bu Mantep sendiri dulunya istri terkemuka di Banyumas. Sang meninggal dunia. Pak Mantep mengawini sang janda. Sebagai istri terakhir –yang ke-8.

Hubungan Bu Mantep dengan anak-anak dari istri terdahulu baik sekali. Sang anak juga senang Pak Mantep mengawini ibu tirinya yang sekarang.

"Beliau kan mantan istri . Beliau tahu bagaimana melayani seperti bapak," ujar Medhot.

Bu Mantep pun positif Covid. Semoga sempat sembuh. (*)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO