Pak Mantep, Si Dalang Oye, Mengolah Kelemahan Suaranya Jadi Kekuatan

Pak Mantep, Si Dalang Oye, Mengolah Kelemahan Suaranya Jadi Kekuatan Dahlan Iskan

Awalnya dulu Pak Mantep dianggap punya kelemahan mendasar: jenis suaranya. Tidak koong. Padahal di zaman itu ada Ki Narto Sabdo (alm) dan Anom Suroto. Yang suaranya begitu bulat dan merdu.

Dalang adalah juga penyanyi. Pembawa suluk. Pengucap dialog. Suara ki mutlak harus koong.

Ki Mantep secara terbuka mengakui kelemahannya itu. Termasuk ketika sedang mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Ia mengajar sebagai dosen luar biasa –karena Pak Mantep bukan sarjana. Juga tidak pernah sekolah formal pean.

"Gunakan sisi kekuatan Anda untuk menutupi kelemahan Anda." Itulah isi kuliah Pak Mantep. Seperti yang diingat Ki Cahyo Kuntadi, terkemuka masa kini. Ki Kuntadi pernah menjadi asisten dosen untuk Pak Mantep. Di ISI. Selama dua tahun. Ki Kuntadi lulusan S-1 ISI yang kemudian lanjut ke S-2.

Lama-lama jenis suara Pak Mantep justru menjadi kekuatannya. Menjadi ciri khasnya yang kuat. Sampai menjadi iklan ''Oskadon Oye!'' yang terkenal itu.

Saking kuatnya karakter suara itu sampai ada mahasiswa yang ingin meniru suara Pak Mantep. "Saya sendiri, waktu masih mahasiswa, pernah punya keinginan meniru suara beliau," ujar Ki Kuntadi. "Demikian juga beberapa mahasiswa pean angkatan saya," tambahnya.

Medhot punya rumusan yang baik untuk menggambarkan upaya Pak Mantep mengatasi kelemahannya itu. "Pintar-pintarlah mengolah cengkok," ujar Medhot menirukan doktrin ayahnya. "Juga harus pinter memainkan nada," tambahnya.

Medhot kini sudah jadi terkenal. Ia seperti ayahnya: tanpa sekolah pean. Otodidak. Belajar sendiri. "Ayah juga tidak pernah mengajar saya bagaimana men yang baik," ujar Medhot.

Sang ayah, katanya, hanya menekankan satu hal: "Kalau mau hebat, seperti ayah, ya harus sering menonton ayah men". Soal kemampuan yang lain-lain tergantung cara dan kesungguhan mengasah diri.

Apakah Medhot juga mewarisi jenis suara sang ayah?

“Kami, semua anaknya, mewarisi suara bapak," ujar Medhot. Melihat kenyataan itu Pak Mantep pernah mengatakan begini: sudah takdir keluarga kita punya suara seperti ini. Pinter-pinter kita mengolahnya.

Medhot (Me-nya dibaca seperti membaca Medan), adalah nama panggung. Nama aslinya Samyono Mantep Putro. Tapi karena sejak bayi dipanggil Medhot nama itulah yang dikesohorkan. "Kata ibu, ketika saya di kandungan suka medhot sana medhot sini," ujar Medhot.

Pak Mantep juga punya putri yang tinggal di Surabaya. Ny. Sariono. Dari ibu yang kedua. Dia seorang penari. Demikian juga suaminyi. Dua anaknyi pun jadi penari. Lulusan S-1 ISI Solo.

"Saya tidak bisa ikut pemakaman di Karanganyar. Tidak keburu. Syarat bepergian di masa Covid ini banyak," ujarnya.

Saya telepon dia. Juga bicara dengan suaminyi. Sang suami pernah menciptakan tari ngremo untuk acara saya.

Jumat pagi kemarin Ny. Sariono masih bicara dengan Pak Mantep, ayahnyi. Bu Mantep yang menelepon putri tirinyi itu. Pakai video call. Keadaan Pak Mantep kian berat sehingga Bu Mantep menghubungi putra putri yang jauh-jauh.

"Saya sesak napas," ujar Pak Mantep di video call itu. Lalu menggerakkan tangan daa..daa.

Sebulan lalu Ny Sariono ke Karangpandan. Menjenguk sang ayah. Kesan waktu itu: Pak Mantep menanyakan teman-teman kecilnya. Yang banyak sudah meninggal dunia.

Saya pernah nanggap Pak Mantep. Dulu sekali. Tujuh malam berturut-turut. Untuk lokasi yang berbeda di Jatim bagian barat.

Banyak masa kini adalah murid Pak Mantep. Bu Mantep sendiri dulunya istri terkemuka di Banyumas. Sang meninggal dunia. Pak Mantep mengawini sang janda. Sebagai istri terakhir –yang ke-8.

Hubungan Bu Mantep dengan anak-anak dari istri terdahulu baik sekali. Sang anak juga senang Pak Mantep mengawini ibu tirinya yang sekarang.

"Beliau kan mantan istri . Beliau tahu bagaimana melayani seperti bapak," ujar Medhot.

Bu Mantep pun positif Covid. Semoga sempat sembuh. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO