Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
37. Walaa tamsyi fii al-ardhi marahan innaka lan takhriqa al-ardha walan tablugha aljibaala thuulaan.
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.
38. Kullu dzaalika kaana sayyi-uhu ‘inda rabbika makruuhaan.
Semua itu kejahatannya sangat dibenci di sisi Tuhanmu.
TAFSIR AKTUAL:
Kemungkinan eksistensi pesan ayat sebelumnya kurang diterima oleh manusia. Hal itu karena sifat congkaknya yang melambung tinggi. Lalu ayat kaji ini menyikapi dengan sindiran mematikan. You, kalau berjalan jangan congkak, sok digdaya. Membelah bumi saja tidak bisa. Bahkan fisikmu sangat mungil dibanding gunung.
“Walaa tamsyi fii al-ardhi maraha”. Masya-yamsyi, artinya berjalan, menggerakkan badan dari satu tempat ke tempat lain. Maraha, artinya congkak, berlagak, sombong, dan sebangsanya. Ditunjuk soal berjalan, karena keadaan jiwa seseorang bisa dibaca melalui cara berjalannya.
Ada gaya berjalan yang santun dan ada gaya berjalan yang sombong. Ada pola berjalan yang lunglai memelas kayak jalannya pesakitan digiring polisi dan ada gaya berjalan yang menunjuk semangat dan tanggap seperti jalannya militer berbaris. Untuk itu, makna “maraha” pada ayat kaji ini adalah gaya berjalan yang melambangkan kecongkakan. Lalu, apakah gaya “maraha” ini mutlak dilarang?.