Oleh: Surokim Abdusalam*
LEMBAGA survei perlu didorong untuk meningkatkan kompetensi dan kredibilitas mereka agar menjadi profesional sehingga bisa menghasilkan riset yang bisa dipercaya dan reputable. Jika hal ini tidak dikawal, lembaga survei potensial akan menjadi kolesterol demokrasi pemilu elektoral. Mereka akan mudah memainkan data publik tanpa kecermatan dan prosedur riset yang sahih dan valid.
Menjelang Pilgub Jatim, lembaga survei lokal mulai bermunculan. Kendati gawe pemilu masih tahun depan, tetapi suhu kontestasi di jatim mulai menghangat terkait dengan peluang para tokoh.
Tak terkecuali keberadaan lembaga survei lokal, dengan memunculkan hasil survei terkait peluang kandidat potensial. Apalagi hampir semua partai juga menggunakan rujukan hasil survei untuk menentukan dukungan. Namun, pengawasan publik termasuk media sejauh ini terlihat masih lemah terkait dengan kewaspadaan dan mengkritisi hasil dan kredibilitas hasil survei.
Bagi mereka yang memahami survei, hal ini jelas menggelikan. Media masih fokus kepada hasil dan belum mencermati bagaimana prosedur riset itu dijalankan. Release lembaga itu pun mendapatkan liputan luas termasuk dari media mainstream bereputasi. Fenomena ini jika tidak dikritisi akan membahayakan demokrasi.
Hal ini bisa kita lihat bagaimana lembaga survei dalam menentukan teknis dan metodologi yang terlihat masih asal. Ada lembaga survei lokal yang menggunakan margin error 5%, jumlah sampelnya 20.000.
Momentum ini sungguh baik untuk memperbaiki kualitas lembaga survei, termasuk lembaga survei lokal. Sebab, jika tidak, hal ini akan membahayakan eksistensi lembaga survei sendiri karena akan mereduksi kepercayaan publik. Keberadaan lembaga survei akan menjadi oksigen dan pilar demokrasi jika prasyarat dasar bisa dipenuhi yakni ada kompetensi ilmiah, cermat dan akurat menentukan metode, jujur dan independen.