Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Wa-awfuu bi’ahdi allaahi idzaa ‘aahadtum walaa tanqudhuu al-aymaana ba’da tawkiidihaa waqad ja’altumu allaaha ‘alaykum kafiilan inna allaaha ya’lamu maa taf’aluuna.
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Posisi ayat ini setelah ayat tentang tiga perintah yakni: berbuat adil, ihsan dan menyantuni keluarga dekat dan tiga larangan, yakni perbuatan keji, munkar dan jahat (90). Sebagai pesan lanjutan, ayat ini bertutur tentang keharusan menunaikan janji yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Sejarah menunjuk, bahwa salah satu tradisi masyarakat arab adalah al-mu'akhah, sumpah setia membangun seduluran, persaudaraan secara mengikat seperti saudara kandung sendiri, saling membantu, saling mewaris dan diwarisi, saling menanggung beban seperti membayar diyat (denda), apalagi soal sentimen antar suku. Secara hukum, brotherness ini sangat kuat dan wajib dipatuhi karena perjanjiannya dilegalkan di depan tetua adat. Bagi pelanggarnya akan mendapat sanksi amat berat. Untuk itu, bila ada satu suku diserang, maka suku yang terikat janji persaudaraan wajib membantu.
Setelah islam datang dan mereka memeluk islam, sebagian di antara mereka ada yang dulu ketika masih kafir telah terikat mu'akhah dengan temannya. Lalu mereka mengadukan masalah ini kepada Rasulullah SAW.
Rasul memberi keputusan: "Ikatan janji itu tetap harus dipenuhi selagi tidak berlawanan dengan islam". Semisal saling membantu materi secara wajar, sedekah kemanusiaan tetap ditunaikan. Tidak boleh membantu kekuatan kafir, seperti menjadi mata-mata atau mengucurkan dana.