Praktisi Hukum di Malang Sebut Eksekusi Tembok Griyashanta Ada Indikasi Pelanggaran Hukum Berat

Praktisi Hukum di Malang Sebut Eksekusi Tembok Griyashanta Ada Indikasi Pelanggaran Hukum Berat Hertanto Budhi Prasetyo.

MALANG, BANGSAONLINE.com – Pascainsiden pembongkaran paksa tembok pagar pembatas di Perumahan Griyashanta pada 18 Desember 2025, praktisi hukum dari Malang, Hertanto Budhi Prasetyo, merilis legal opinion (pendapat hukum) yang memperingatkan adanya pergeseran dari Negara Hukum (Rechtstaat) menuju Negara Kekuasaan (Machtstaat).

Dalam dokumen bernomor 243/Legal-Opini/PUMI/XI/2025, Hertanto membedah eskalasi yuridis yang terjadi, mulai dari kegagalan eksekusi resmi hingga tindakan anarkisme yang ia sebut sebagai eksekusi liar.

Hertanto menyoroti fakta bahwa saat pembongkaran, objek tembok tersebut masih dalam status sengketa aktif melalui gugatan Class Action di Pengadilan Negeri Malang.

Menurutnya, tindakan massa yang mendahului putusan hakim adalah bentuk nyata dari Contempt of Court atau penghinaan terhadap pengadilan.

“Secara doktrinal, selama perkara masih bergulir (sub-judice), tidak boleh ada pihak manapun yang melakukan tindakan fisik sepihak atas objek sengketa. Pembongkaran paksa oleh massa tanpa surat perintah eksekusi resmi adalah intervensi ilegal terhadap kewenangan hakim,” tegas Hertanto dalam keterangannya, Sabtu (20/12/2025).

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa insiden tersebut bukan sekadar luapan emosi warga, melainkan tindakan pidana yang terorganisir. Ia mendesak aparat kepolisian untuk tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan, tetapi juga membidik aktor intelektual (Intellectual Dader).

Hertanto merujuk pada beberapa pasal, yaitu Pasal 170 KUHP terkait kekerasan terhadap barang yang dilakukan secara bersama-sama. Pasal 406 KUHP mengenai pengerusakan barang milik orang lain. Pasal 55 KUHP untuk menjerat pihak yang memberi perintah (mandans) atau yang memfasilitasi aksi tersebut.

“Hukum tidak boleh kalah oleh tekanan massa. Jika tindakan ini dibiarkan, akan tercipta preseden buruk, di mana siapa pun bisa membongkar properti orang lain dengan dalih aspirasi publik tanpa melalui prosedur hukum yang benar,” tambahnya.

Menurut Hertanto, salah satu poin penting dalam analisisnya adalah keterlibatan pemerintah daerah dan APH. Meskipun Satpol PP Kota Malang menyatakan aksi tersebut bukan bagian dari agenda resmi mereka, Hertanto menilai ada indikasi Onrechtmatige Overheidsdaad (PMH Penguasa) melalui pembiaran (omission).

“Ada rentang waktu yang cukup lama sejak ultimatum massa muncul pada November hingga eksekusi liar terjadi di Desember. Kegagalan otoritas dalam memberikan perlindungan terhadap objek sengketa dan harta benda warga sesuai Pasal 28G UUD 1945 dapat diklasifikasikan sebagai kelalaian hukum yang fatal,” jelasnya.

Hertanto merekomendasikan tiga langkah strategis bagi pihak yang dirugikan, di antaranya:

1. Laporan Pidana: Melacak pendana dan penggerak massa melalui investigasi;

2. Gugatan Injunction: Meminta putusan sela untuk menghentikan seluruh aktivitas di lokasi agar status quo terjaga;

3. Laporan ke Ombudsman RI: Menyelidiki dugaan maladministrasi dan pembiaran oleh aparat penegak hukum setempat.

Ia berharap, analisis ini menjadi edukasi bagi masyarakat luas bahwa penegakan aturan administratif sekalipun menyangkut fasilitas umum harus dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, bukan dengan cara-cara kriminal dan bar-bar yang mencederai supremasi hukum di Indonesia. (dad/msn)