Empat Indikator Gus Yahya di Ujung Tanduk, Atasi Konflik NU Butuh Kiai Kharismatik dan Berwibawa

Empat Indikator Gus Yahya di Ujung Tanduk, Atasi Konflik NU Butuh Kiai Kharismatik dan Berwibawa KH Miftachul Akhyar (kanan) dan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Foto: istimewa

Oleh: M. Mas’ud Adnan

Mari gegeran gergeran. Setelah bertengkar atau konflik tertawa bersama. Itulah tradisi mulia kiai NU. Sayang. Kultur elegan itu kini tinggal jargon. Sudah tak ada kiai kharismatis, arif dan berwibawa sekelas KH As’ad Syamsul Arifin, KH Ali Maksum dan Kiai Mahrus Ali. Yang bisa mengayomi semua pihak. 

Konsekuensinya, konflik antara Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dan Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) terancam berakhir saling pecat. Idealnya, konflik mereka berakhir dengan konsensus. Demi NU. Ternyata, konflik yang kini melilit PBNU semakin tak bisa diurai. Tapi benarkah posisi Gus Yahya di ujung tanduk?

Sejarah mencatat, konflik keras terjadi ketika KH Idham Chalid menjabat Ketua Umum PBNU. Kiai Asal Kalimantan Selatan itu paling lama menjabat ketua umum PBNU. Selama 28 tahun (1956-1984). Bahkan pernah menjadi Perdana Menteri dan Ketua MPR. Otomatis mengakar. Semua Ketua PCNU dan PWNU patuh.

Tapi ketika Rais Aam Syuriah PBNU KH Ali Maksum Lasem Rembang, KH As’ad Syamsul Arifin Situbondo dan KH Mahrus Ali Lirboyo Kediri meminta mundur, Kiai Idham Chalid sami’na wa’atha’na. 

Memang surat pernyataan mundur itu sempat dicabut - karena ada bisikan dari sahabat sesama politisinya. Tapi Kiai Idham kemudian tetap mundur. Hebatnya, Kiai Idham dengan besar hati tetap hadir pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984.

Ini contoh penyelesaian konflik elegan dan berbudaya. Penyelesaian ini sukses karena ada faktor kiai-kiai berwibawa, arif dan berintegritas. Sehingga memiliki pengaruh besar. Problem sekarang, kita krisis kiai bijak, berintegritas dan berwibawa. Yang bisa diterima semua pihak.

Sehingga konflik antara Kiai Miftah – panggilan KH Miftachul Akhyar- dan Gus Yahya sulit tercapai konsensus dan win-win solution. Kemungkinan besar justeru pemecatan sepihak. Pertanyaanya, bagaimana dengan perlawanan Gus Yahya? Bisakah ia mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum PBNU. Tampaknya sulit.

Setidaknya, ada empat indikator kenapa posisi Gus Yahya sangat rawan berhadapan dengan Kiai Miftah dan jajarannya.

Pertama, dukungan struktural NU terhadap Gus Yahya lemah. Baik dari jajaran Tanfidziyah, apalagi jajaran Syuriah. Ini terlihat sekali dari undangan Gus Yahya terhadap 33 Ketua PWNU seluruh Indonesia di Hotel Novotel Samator Jalan Kedung Baruk Surabaya, Sabtu (22/11/2025) lalu.

Dari 33 Ketua PWNU seluruh Indonesia yang diundang hanya 11 Ketua PWNU yang datang. Ini berarti Gus Yahya hanya didukung oleh 33,3 persen dari seluruh Ketua PWNU seluruh Indonesia. Suatu dukungan tidak signifikan karena di bawah 50 persen.

Sebagai wartawan - juga kader NU - saya semula memprediksi akan terjadi “perlawanan” seimbang dari Gus Yahya terhadap serangkaian kebijakan Rais Aaam Kiai Miftah, yang terus mendegradasi legitimasi Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU. Bukankah Gus Yahya selama menjabat Ketua Umum PBNU dikabarkan telah “menata” struktur PWNU di berbagai daerah. Terutama berkat pengaruh adiknya, Yaqut Cholil Qoumas, yang saat itu menjabat Menteri Agama RI. Kabarnya, banyak Ketua PWNU yang berlatar belakang Kementerian Agama aktif. Terutama Kakanwil.

Ternyata, loyalitas para ketua PWNU terhadap Gus Yahya lemah. Meminjam istilah Mahbub Djunaidi - tokoh NU yang juga pendiri PMII - para Ketua PWNU “pandai mencium arah angin”. Ini mudah dipahami, karena Gus Yaqut – panggilan Yaqut Cholil Qoumas – sudah tak bertahta di kursi kekekuasaan. Otomatis loyalitas para Ketua PWNU terhadap Gus Yahya berubah 80 derajat.

Memang, dalam budaya NU tak dikenal istilah “perlawanan”, karena istilah tersebut dianggap suul adab. Setidaknya dalam perspektif kultur NU. Tapi melihat sikap Gus Yahya yang tak mau tunduk begitu saja terhadap keputusan Rapat Harian Syuriah PBNU berarti memang terjadi “perlawanan”, meski akhirnya tak signifikan.

Kedua, dukungan NU atau kiai kultural juga lemah. Gus Yahya mengundang 76 kiai dan habaib ke kantor PBNU Jalan Kramat Jakarta pada Ahad (23/11/2025) malam. Tenyata yang datang jauh lebih sedikit dibanding kehadiran Ketua PWNU di Surabaya.

Dalam berita yang muncul di media massa hanya lima kiai yang datang. KH Imam Jazuli, pengasuh Pondok Pesantren BIMA Cirebon menyebut di media massa bahwa yang hadir Gus Ghafur, Gus Athoillah Lirboyo, KH Ubaidillah Shodaqoh, Kiai Ali Akbar Marbun, dan KH Said Asrori. Yang terakhir ini Katib Aam Syuriah PBNU yang juga sepupu Gus Yahya.

Minimnya kiai-kiai yang hadir dalam pertemuan bertajuk Silaturahim Ali Ulama itu semakin memperlemah legitimasi dan dukungan terhadap Gus Yahya.

Alhasil, baik dukungan struktural NU maupun kultural NU terhadap Gus Yahya sangat lemah. Tren dukungan yang terus menurun itu membuat convidence Rais Aam dan jajarannya untuk memberhentikan Gus Yahya sebagai ketua umum PBNU.

Bahkan, di tengah konflik dan manuver opini di publik, Rais Aam memecat Charles Holland Taylor, penasehat khusus Ketua Umum PBNU (Gus Yahya) dalam urusan internasional. Saya mengamati kebijakan Rais Aam ini mendapat simpati publik, termasuk kiai-kiai NU, meski langkah-langkah Kiai Miftah sendiri banyak mendapat kritik keras dari kalangan NU.

Pemecatan Taylor mendapat simpati karena banyak sekali kiai dan warga NU gerah terhadap manuver politik Gus Yahya yang membangun relasi politik dengan Israel. Apalagi Gus Yahya sempat bertemu dengan top leader Zionis Israel. Diantaranya PM Israel Benjamin Netanyahu.

Relasi politik dengan Israel itu ia bangun sejak masih menjabat Katib Aaam Syuriah PBNU. Gus Yahya makin leluasa “bermitra” dengan Israel setelah menjadi Ketua Umum PBNU.

Gus Yahya beberapa kali memberikan klarifikasi. Menurut dia, relasi politik dengan Israel itu justru untuk membela Palestina. Tapi publik tak percaya begitu saja. Apalagi saat 60.000 warga Palestina dibunuh secara brutal oleh tentara Israel, Gus Yahya justru mengundang Peter Berkowitz, aktivis garis keras pro Israel, menjadi nara sumber dalam acara Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) Nahdlatul Ulama (NU). Padahal pada saat yang sama mayoritas pimpinan negara-negara skuler Barat mengutuk Israel dalam sidang PBB, karena dianggap melakukan genosida terhadap warga Palestina.

Ketiga, kubu Rais Aam kabarnya mulai menyiapkan Penjabat (PJ) Ketum PBNU. Kabar yang beredar, sosok kiai yang akan dijadikan pengganti Gus Yahya adalah KH Zulfa Mustofa. Benar atau tidak, wallahua’lam. Tapi jika informasi ini benar, legitimasi Gus Yahya niscaya makin pudar.

Apalagi, jika pihak pemerintah – dalam hal ini Menteri Hukum RI – meloloskan atau menandatangani surat permohanan “pengabsahan” atau legalitas  kepengurusan baru PBNU, terutama Pj Ketum PBNU. Sikap Menteri Hukum itu menjadi “sinyal” politik “restu” Istana.

Inilah memang salah satu “kelemahan” paling mendasar proses adiministrasi dan legalitas organisasi – termasuk organisasi keagamaan – seperti NU. Pemerintah terlibat menentukan keabsahan kepengurusan organisasi. Bahkan juga kepengurusan partai politik.

Konsekuensinya, independensi organisasi sosial keagamaan -termasuk NU- tidak maksimal. Setidaknya ketika terjadi konflik. Peraturan inilah yang kemudian menyebabkan sikap ketergantungan para pengurus ormas – bahkan partai - terhadap pemerintah.

Saya mencermati molornya deadline atau batas waktu tiga hari - tapi belum ada “eksekusi” pemberhentian Gus Yahya dari Ketua Umum – bisa jadi kubu Kiai Miftah sedang menunggu proses penyelesaian “administrasi” dari Kementerian Hukum RI. Sebab Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Hukum itu akan menjadi senjata pamungkas bagi Kiai Miftah untuk memberhentikan Gus Yahya dari Ketua Umum PBNU.

Keempat, di Jawa Timur, Kiai Miftah dikenal sebagai kiai “berpengalaman” dalam terlibat konflik sekaligus menyelesaikan konflik NU. Termasuk “menyelesaikan” lawan politiknya di setiap level kepengurusan NU.

Bahkan sejak aktif sebagai pengurus di tingkat PCNU Surabaya Kiai Miftah sudah terlibat konflik hebat. Tapi ia tetap eksis.

Kiai Miftah kemudian naik menjadi Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Dalam beberapa tahun kemudian, Kiai Miftah terpilih sebagai Rais Syuriah PWNU Jawa Timur.

Tapi pada 2008 Kiai Miftah kembali terlibat konflik keras. Kali ini dengan Prof Dr KH Ali Maschan Moesa, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur. Saat itu Kiai Ali Maschan menjadi calon Wakil Gubernur Jawa Timur berpasangan dengan Calon Gubernur Soenarjo.

Pro-kontra pun tak terelakkan. Tapi Kiai Miftach dengan otoritasnya sebagai Rais Syuriah langsung melengserkan Kiai Ali Maschan dari Ketua PWNU Jawa Timur.

Pada tahun 2023 Kiai Miftah lagi-lagi terlibat konflik. Kali ini dengan KH Marzuki Mustamar. Juga Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur. Kiai Miftah juga memecat KH Marzuki Mustamar. Bahkan Wakil Ketua PWNU Jatim KH Abdus Salam Shohib juga dipecat.

Sekarang Kiai Miffah konflik keras dengan Gus Yahya, meski di belakang Kiai Miftah disebut-sebut ada Gus Ipul. Jika melihat track record Kiai Miftah dalam melengserkan lawan-lawan politiknya di NU selama ini tampaknya Kiai Miftah tidak akan sulit “menyelesaikan” Gus Yahya. Apalagi, baik secara legitimasi maupun dukungan konkrit terhadap Gus Yahya cukup lemah.

Walhasil, posisi Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU sekarang berada di ujung tanduk. Namun empat indikator ini tak akan berlaku jika ada sejumlah kiai berpengaruh dan berwibawa melakukan mediasi untuk “mengislahkan” Gus Yahya dan Kiai Miftah.

Kita berdoa semoga konflik PBNU segera berakhir dengan baik. Kita juga berdoa semoga kedepan pengurus NU yang terpilih adalah figur bersih, berintegritas, berkarakter, jujur, dan berakhlak. Kita sedih ketika mendengar SK organisasi yang seharusnya menjadi legitimasi formal PWNU dan PCNU dijadikan senjata politik untuk menekan dan dukungan oleh elit-elit NU tak bertanggungjawab. Begitu juga pengelolaan keuangan dan tambang yang menjadi isu sensitif belakangan ini.

Sekali lagi, kita berharap PBNU dipimpin oleh tokoh dan ulama profesional, berkapasitas, dan berintegritas, bukan petualang politik dan ekonomi. Sehingga NU benar-benar bermanfaat bagi warga NU, bangsa dan agama, sesuai cita-cita para muassis, wabilkhusus Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Wallahua’lam bisshawab.

M. Mas’ud Adnan CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com