Hari Guru 2025, Anggota DPD RI Lia Istifhama: Momentum Penguatan Adab dan Martabat Pendidik

Hari Guru 2025, Anggota DPD RI Lia Istifhama: Momentum Penguatan Adab dan Martabat Pendidik

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Menyambut Hari Guru Nasional 2025, Anggota DPD RI, Lia Istifhama, turut menyampaikan pandangannya terkait perkembangan pendidikan dan peran guru sebagai pembawa cahaya pengetahuan.

Ia menekankan peran guru yang tidak hanya sebagai pendidik akademis, namun juga tentang adab. 

“Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah untuk ilmu ketenangan dan sopan santun, serta berendah hatilah kepada orang yang kamu belajar daripadanya.” (HR Imam Thabrani)

“Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan percepatan teknologi, pesan Rasulullah SAW ini kembali menemukan relevansinya. Bahwa ilmu, betapa pun luasnya, akan kehilangan ruh jika tidak disertai adab dan ketundukan hati terhadap para guru,” ucap Ning Lia, sapaan karib Lia Istifhama.

Bagi Ning Lia, keberkahan ilmu bukan hanya buah kerja keras akademik, melainkan juga restu dan keridlaan guru, sebuah konsep klasik yang terus diwariskan dalam tradisi pesantren.

Ia mencontohkan kisah sang ayah, KH Masykur Hasyim, yang pernah mendapatkan restu Kiai Kholili saat hendak pindah belajar ke Tambakberas. Dalam narasi itu, restu guru tak sekadar simbol, melainkan fondasi spiritual perjalanan ilmu. Bahkan, hadis Nabi menyebut para malaikat meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai bentuk keridlaan.

“Spirit seperti inilah yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan nasional: adab, penghormatan kepada guru, dan perlindungan terhadap profesi pendidik,” ujar Ning Lia, yang juga keponakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tersebut.

Selama satu tahun masa pengabdian sebagai senator Jawa Timur, isu-isu terkait guru menjadi salah satu fokus perjuangan Ning Lia. Dalam pembahasan revisi UU Sisdiknas awal 2025, ia menegaskan bahwa perombakan regulasi tidak boleh bersifat kosmetik, tetapi harus menyentuh problem struktural di lapangan.

Menurut Ning Lia, masih banyak guru yang berada dalam posisi rentan. Di satu sisi mereka dituntut mencetak generasi unggul, namun di sisi lain menghadapi ancaman kriminalisasi akibat kesalahan administratif maupun miskomunikasi dalam proses pembelajaran.

“Guru seharusnya fokus mendidik, bukan hidup dalam ketakutan karena laporan administratif. Saya sendiri pernah kehilangan 10 bulan tunjangan profesi saat mengajar di masa Covid. Sistemnya harus diperbaiki,” kata Doktor Manajemen Ekonomi Islam (MEI) UINSA tersebut.

Administrasi berlebihan juga menjadi beban bagi para guru. Bagi Ning Lia, birokratisasi pendidikan yang tidak proporsional justru menjauhkan guru dari esensi tugasnya, yakni membimbing perkembangan kognitif, emosional, dan karakter siswa.

“Banyak pendidik terjebak laporan, bukan pengasuhan intelektual,” tambah perempuan yang beberapa waktu lalu mendapat DetikJatim Awards 2025 tersebut.

Salah satu advokasi utama Ning Lia adalah penguatan pendidikan inklusi. Perempuan yang akrab disapa Senator Jatim itu mendorong agar sekolah inklusi mendapat BOS khusus, sehingga layanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tidak bergantung pada ketersediaan dana internal sekolah.

Dalam perspektifnya, inklusi bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi pijakan moral sebuah bangsa. Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai jika negara gagal memberi akses pendidikan berkualitas bagi seluruh anak, tanpa kecuali.

“Keberhasilan sebuah bangsa ditentukan oleh kemampuannya memberi ruang bagi semua anak. Inklusi adalah komitmen peradaban,” ungkap Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai Masyarakat Jatim versi ARCI 2025 itu.

Di samping itu, Ning Lia juga mendorong penerapan zonasi penempatan guru, agar pendidik dapat mengajar di wilayah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Selain menekan risiko kecelakaan akibat jarak perjalanan yang jauh, zonasi memungkinkan guru membangun hubungan yang lebih organik dengan lingkungan sosial siswa.

Kebijakan ini, menurutnya, adalah wujud nyata dari paradigma pendidikan yang humanis—menempatkan guru bukan sebagai operator sistem, tetapi sebagai manusia yang juga membutuhkan keselamatan, keseimbangan hidup, dan ruang pengabdian yang wajar.

Ning Lia kembali mengangkat pesan para ulama, bahwa ilmu sejatinya ditransfer melalui hubungan batin melalui keteladanan, kasih sayang, dan adab antara murid dan guru.

“Bagaimana mungkin kita merasa semakin berilmu, tetapi makin lupa menundukkan kepala? Ilmu itu cahaya. Tidak ada ruang kosong selama ilmu dan adab mengisinya. Pesan tersebut menjadi landasan intelektual dan spiritual bagi perjuangannya,” jelas Putri KH Maskur Hasyim tersebut.

Bagi Ning Lia, Hari Guru tidak boleh dipahami hanya sebagai momentum seremoni. Ia adalah momen evaluasi peradaban. Momen untuk mengingat kembali pentingnya taat kepada guru, memastikan perlindungan hukum bagi pendidik, memperkuat pendidikan inklusi hingga zonasi guru demi keselamatan serta efektivitas pengabdian.

“Saya berharap Indonesia sungguh-sungguh menjadi bangsa yang menempatkan guru tidak hanya sebagai profesi, tetapi sebagai pilar peradaban. Sebab dari tangan gurulah lahir generasi Indonesia Emas: generasi berpengetahuan, beradab, dan berkarakter,” kata Ning Lia. (*)