Tren Paslon Tunggal di Pilkada Meningkat, Pengamat Politik UPN: Tidak Sehat Bagi Demokrasi

Tren Paslon Tunggal di Pilkada Meningkat, Pengamat Politik UPN: Tidak Sehat Bagi Demokrasi Ilustrasi

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Pengamat Politik Universitas Pembangunan Nasional () Veteran Jawa Timur, , menyoroti tren meningkatnya paslon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak.

Diketahui, pada Pilkada serentak 2024, ada 35 daerah yang bakal menggelar Pilkada dengan paslon tunggal, alias melawan kotak kosong. Jumlah ini meningkat dibandingkan Pilkada 2020 sebanyak 25 daerah, maupun Pilkada 2018 dengan 16 daerah.

Baca Juga: Polres Gresik Amankan Percetakan Surat Suara Pemilu 2024

Adapun dari 35 daerah yang bakal menggelar Pilkada dengan paslon tunggal pada 2024, 5 di antaranya ada di Jawa Timur.

Yakni Pasangan Eri Cahyadi - Armuji di Pilwali Surabaya, Fandi Akhmad Yani - Asluchul Alif di Pilbup Gresik, Adi Wibowo - Mokhamad Nawawi di Pilwali Pasuruan, Ony Anwar Harsono - Dwi Riyanto Jatmiko di Pilbup Ngawi, dan Nur Arifin - Syah Mohammad Natanegara di Pilbup Trenggalek.

Singgih menjelaskan, munculnya paslon tunggal dalam Pilkada karena para partai politik peraih kursi DPRD kompak memberikan rekomendasi kepada satu paslon.

Baca Juga: Di Kantor Bupati, Sekda Gresik Sambut Kirab Bendera Pataka HUT Provinsi Jatim ke-79

"Cara borong rekom menjadi jalan paling mudah memenangkan pilkada. Apalagi bagi kandidat incumbent yang punya elektabilitas dan tingkat kepuasan yang tinggi," ujar Dosen FISIP Veteran Jawa Timur tersebut.

Menurutnya, terdapat potensi tukar guling rekomendasi partai antar kabupaten/kota lain sehingga terjadilah paslon tunggal. Tentu kalkulasi praktis dari parpol adalah peluang menang.

"Menggerakkan mesin politik parpol dan relawan tentu berbiaya tinggi, belum tentu menang. Parpol ingin ikut pemenang pilkada. Oposisi bukan menjadi opsi ideal, mereka bakal puasa dari kue kekuasaan," cetus Singgih.

Baca Juga: Puas Kinerja Khofifah Periode 2019-2024, Pekerja Jawa Timur Siap Menangkan 75%

Singgih mengingatkan bahwa paslon tunggal atau bumbung kosong tidak sehat bagi demokrasi. Sebab, tidak akan ada pertarungan gagasan dan program. Sehingga inovasi kebijakan akan jarang terlihat 5 tahun mendatang.

Apalagi jika paslon tunggal kalah, maka pilkada akan diulang pada September 2025. Itu artinya, posisi kepala daerah akan diisi oleh penjabat (Pj) selama setahun.

"Kondisi ini merupakan ancaman bagi demokrasi. Mengingat, gerakan coblos kotak kosong mulai muncul di Gresik dan Surabaya akibat parpol gagal memberikan alternatif pilihan bagi masyarakat," cetusnya.

Baca Juga: Jelang Pilkada, Polres Ngawi Perketat Keamanan Gudang KPU

"Kotak kosong atau bumbung kosong merupakan tradisi politik Jawa pada pemilihan kepala desa yang diadopsi pada konteks nasional," ujar alumnus FISIP Unair ini.

Karena itu, Singgih menyarankan agar sistem pemilu diubah untuk meminimalisasi paslon tunggal. Caranya dengan menurunkan ambang batas parlemen.

"Bahkan kalau perlu 0 persen sekaligus, untuk memberikan kesempatan bagi parpol baru atau parpol nonparlemen mengusung calon. Selain itu, rekrutmen dan sekolah partai perlu ditingkatkan," tutupnya. (red)

Baca Juga: Bawaslu Gresik Turunkan APK Yani-Alif yang Dipasang di Depan Balai Desa Sukowati

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO