Kenapa Tokoh Politik yang Didukung Buzzer Alami Degradasi Legitimasi?

Kenapa Tokoh Politik yang Didukung Buzzer Alami Degradasi Legitimasi? M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Oleh: M Mas’ud Adnan --- Pertanyaan ini saya buat judul karena belakangan ini banyak sekali fakta sosial politik yang terjadi. Ini memang fenomena menarik. Setelah sekitar dua tahun saya mencermati hiruk-pikuk media sosial, akhirnya saya berkesimpulan bahwa para bagi tokoh politik tidak bisa lagi menciptakan citra positif, sebaliknya justru mendatangkan aib dan citra negatif.

Kini bahkan muncul sikap alergi dan antipati terhadap . Para tokoh politik merasa malu jika dianggap memelihara . Bahkan aktor politik yang memelihara pun tak ada yang mau mengaku memelihara .

Alasan mereka sederhana. Selain takut dianggap tak punya dukungan riil alias tipu-tipu juga citra sendiri sudah sedemikian buruknya. Sampai ada yang mengatakan bahwa para adalah sampah masyarakat dan cari makan dengan cara menyakiti orang lain.

Harus diakui, dulu pernah jaya. Saat Pilkada DKI 2012. Seorang teman wartawan media terkemuka di Jakarta bahkan dengan bangga mengaku kepada saya bahwa ia menggerakkan untuk memenangkan kandidatnya. Maklum, saat itu banyak orang yang belum tahu sehingga para bisa mengelabuhi publik.

Kini sebaliknya. Publik sudah paham bahwa para adalah corong politik yang hanya bisa membual. Sebagai corong politik mereka bisa bekerja kepada kepada penguasa atau penentang penguasa. Tergantung siapa yang membayar.

Lalu kenapa dikatakan membual? Pertama, mereka bekerja asal serang untuk menciptakan kegaduhan, tanpa didasari data valid, apalagi moralitas kebenaran. Jadi mereka tak pernah berdasarkan benar atau salah. Apalagi baik dan tidak baik. Yang penting, mereka menyerang atau menentang lawan sesuai pesanan atau sponsor yang membayar. Modus mereka: sikat terus! Akibatnya mereka melawan moral publik.

Kedua, mereka seolah-olah banyak pengikut atau follower atau viewer. Padahal, jamak kita ketahui, bahwa pengikut dalam dunia maya adalah abstrak dan bahkan bisa direkayasa. Contoh follower atau viewer. Semua itu bisa direkayasa. Bisa dimark up. Mau minta berapa ratus ribu bahkan juta. Tinggal menghubungi agen-agen mereka.

Karena itu para itu aktif beternak akun sebanyak-banyaknya. Dengan berbagai nama atau atas nama. Tapi – sekali lagi – abstrak. Bahkan banyak yang pakai akun robot!

Ketiga, mereka membuat portal atau media online. Nah, media-media provokatif dan partisan yang diciptakan sendiri itulah yang rajin mengutip status atau unggahan para . Jeruk makan jeruk. Mereka ingin mengesankan bahwa unggahan dan caci maki mereka jadi opini publik. Padahal media-media provokatif itu adalah ciptaan mereka atau milik mereka sendiri. Karena itu mereka membuat media online sebanyak-banyaknya.

Kini – seiring terbongkarnya kepalsuan dan bualan mereka – publik akhirnya sadar bahwa para itu bukan saja tak bisa dipercaya tapi juga tak efektif. Karena itu mudah dipahami jika publik kini mulai enggan membaca postingan mereka.

Memang publik tak perlu membaca postingan mereka, jika tak ingin terperangkap pada tipu-tipu. Sebab mereka justru senang dan merasa efektif jika postingan mereka dibaca, apalagi ditanggapi. Maklum, tugas mereka, salah satunya, memang menciptakan sensasi dan kegaduhan agar mendapat perhatian publik.

Lihat juga video 'Setahun Tak Ada Kabar, Korban Longsor di Desa Ngetos Nganjuk Tagih Janji Relokasi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO