Tafsir Al-Isra' 45: La Ilaha Illa Allah, Biang Perpecahan Umat Islam?

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

45. wa-idzaa qara'ta alqur-aana ja’alnaa baynaka wabayna alladziina laa yu/minuuna bial-aakhirati hijaaban mastuuraan

Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al-Qur'an, Kami adakan suatu dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat.

TAFSIR AKTUAL

Ayat 45 kemarin menunjuk, bahwa Alqur'an itu punya daya tutup (hijab) sehingga orang-orang kafir tidak bisa melihat nabi Muhammad SAW yang hendak dibunuh. Makna lain dari "hijaaba masturaa" adalah ketertutupan pandangan orang kafir hingga tidak bisa melihat hidayah di depan matanya.

Bila tesis dikembangkan, jadinya, bahwa orang beriman wajib pandai menangkap hidayah, disamping wajib pula berpikir cerdas dalam melihat persoalan, tidak picik dan tidak emosi, tidak pula tertutup dan nafsu, sehingga mampu membedakan mana yang esensi dan mana yang formalis.

Sekadar mengambil contoh, jika ada bendera bertuliskan "La ilaha illa Allah", maka, apa makna yang terbaca pada tulisan itu?.

Pertama, makna tauhidnya. Bahwa itu adalah tesis teologis, kalimah tauhid, terma imaniyah bagi umat Islam yang wajib dihormati secara mutlak, di mana saja dan kapan saja, dalam keadaan apa saja. Maka hukum yang berlaku atasnya adalah haram bagi orang beriman melecehkannya.

Kedua, makna simbolik, hanyalah bendera biasa yang bertuliskan huruf-huruf arab yang merangkai kalimat "La ilaha illa Allah". Hal mana, huruf adalah budaya atau ciptaan manusia sebagai lambang bunyi. Dari sisi lambang, sama derajatnya dengan lambang lain, meski terbaca identitasnya secara khusus. Maka hukum yang berlaku atasnya adalah hukum tradisi dan lahiriah, yakni bendera biasa dan bukan kalimah tauhid.

Di sini perlu ada ilmu kedua, ilmu kearifan membaca, ada di mana? pada posisi apa? digunakan untuk apa tulisan "La ilaha illa Allah" itu? Maka di situlah hukumnya. Bila kalimah "La ilaha illa Allah" berada pada posisi alamiahnya, ada pada tempat aslinya - belum terkontaminasi oleh kepentingan politik manusia, belum digunakan sebagai simbol kelompok tertentu - seperti ada pada mushaf Alqur'an, ada pada kaligrafi, pada kutub turats, buku pelajaran agama, maka makna kalimah tauhidnya sangat kuat dan nyata. Kita wajib menghormat.

Siapa yang sengaja menista dan sadar atas perbuatannya, seperti menginjak-injak, merobek-robek secara bengis, membakar secara benci, menceburkan ke tempat kotoran, maka menurut ulama salaf dihukumi sebagai murtad fi'ly, berdosa dan harus segera bertobat.

Tapi jika tulisan "La ilaha illa Allah" sudah dipakai sebagai simbol, lambang, atau bendera tertentu, sudah tidak pada tempatnya yang asli, maka hukumnya ada pada wadahnya. Ada pada lambang, pada bendera, dan bukan lagi sebagai kalimah tauhid yang bermaknakan keimanan.

Sayyiduna Ali ibn Abi Thalib Karram Allah wajhah mengomentari ulah oposisi yang menggunakan kalimah "La ilaha illah Allah" sebagai tameng politik saat arbitrasi dulu, "Kalimah haqq urid biha al-bathil". La ilah illa Allah itu sungguh kalimah kebenaran (haq), tapi dipakai untuk tujuan kebathilan (kepentingan poltik). Bukan "La ilah illa Allah" nya yang salah, tapi klaim kebenaran penafsirnya yang salah.

Ali Ibn Abi Thalib yang sedemikian mulia, menantu Rasulullah SAW, khalifah keempat, juga dijamin masuk surga dituduh keluar dari jalur "la ilah illa Allah" yang harus dibunuh. Dan ternyata dibunuh. Anda tahu siapa pembunuhnya?.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO