Sumamburat: Pengumuman Saat Shalat Malam Itu Radikal

Sumamburat: Pengumuman Saat Shalat Malam Itu Radikal Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

SAYA menyaksikan penuh kagum terhadap para kompetitor yang menyorong sekehendaknya. Dengan nyaman menikmati gelisah rakyat yang sangat mayoritas. Para promotor pertandingan tergiring dalam alun langkahnya dengan kosa laku yang nyaris tidak risih dalam pengawasan publik yang sedemikian gemuruh. Semburat rakyat dianggap biasa dan karena itulah tragedi penstempelan makar marak diwicarakan meski hanya sekadar bersuara berbeda. 

Hari-hari ini dipuncaki dengan pengumuman “pahala besar” sejenis “rejeki nomplok” yang sudah terbaca sangat terencana. Pengumuman menyongsong pagi dengan luapan yang amat dini adalah membuncahkan ingatan setiap ada “gerakan tengah malam”. Yakinlah olehmu bahwa setiap gerakan yang menghebohkan dan menyesakkan di negeri ini selalu ada sejarah kelam yang dimulai saat orang khusuk bertahajut, atau tengah fokus mengerjakan shalat tengah malam.

Selanjutnya terdengar berita yang semliwer dengan ejekan dan rasa jumawah sebagai pemenang. Para pendukung diberi ruang pesta dan dengan itu semua masalah dianggap selesai. Pencurian dan pemalakan “kayu suara rakyat” dibiaskan melalui pemanggilan-pemanggilan. Rakyat yang bergerak dikira merapatkan barisan untuk memberontok padahal ini merintihkan derita atas nama “daulat yang terampas”. Semua tahu, semua merasakan, semua memahami tetapi tidak semua mau mengerti. Kaum pemenang itu tampak bergerombol membentuk formasi sepasukan yang dipandu oleh binatang peliharaan dengan lolongan yang menyalak. 

Itulah penanda bahwa kekuasaan memang harus dipertahakan dan direbut dengan ajaran semua cara dihalalkan. Kemenangan adalah inti dari perlombaan, karena perebutan kekuasaan bukanlah sekadar permainan tetapi ini adalah pengunggahan yang dititahkan. Singgasana kedaulatan terhempas dan rakyat terlihat “melehkan segala energinya” sebelum semuanya akan melukiskan risalah di masa yang panjang. Dan para cerdik pandai terlihat hanya bising dengan kesibukan narasi akademiknya tanpa menyadari bahwa “caktrawala” negara sedang dibalut dalam perban luka yang menganga.

Lihatlah dengan batin dan kejujuran jiwamu. Auranya sangat kentara tentang fenomena tiarap nasional kaum terdidik di sebuah negara yang ada berada di “rimba demokrasi”. Rimba itu merayap menjadi belantara yang sulit diketemukan rambu-rambu hukumnya walaupun dia menyebut dirinya dalam konstitusi sebagai negara hukum (rechtsstaat). Hukum sedang digiring memasuki pintu gerbang yang kuncinya hanya ada dalam “pemenang pemilu raya” dan semuanya berkata “senada hulubalang”. 

Terjadi penghambaan kebangsaan sekelebatan daya nalar yang dibiaskan agar tidak ada yang sungguh-sungguh berbeda. Apabila gagasan dan pikiran tidak sejalan dengan pembopong kedaulatan rakyat, tunggulah saat “peringatan” disampaikan demi langgengnya periodesasi yang diharapkan. Ke depan terbuka kemungkinan sebuah mimpi diadili tanpa mampu membela diri. Segala privasi dimasuki untuk sekadar meraih jabatan yang konon harus diperpanjang sesuai janji.

Situasi di negara tersebut amatlah ganjil untuk ukuran ekspresi berpikir waras dengan segala bentuk media yang terkontrol tanpa ada jeda dan kriteria. Kata tunggal yang diusung menjadi stempel bagi siapa saja yang mencoba menyela adalah radikal. Kata itu adalah lambang “jalan ke neraka”. Kata yang diperhinakan oleh kekuatan untuk memberikan lonceng kegelapan. Berpikir digerhanai dan berdiskusi “dipelototi”. Kondisinya pekat mengkawatirkan. 

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO